Nationalgeographic.co.id— Letnan Bruce Anderson terkejut. Dia dan anak buahnya baru tersadar bahwa mereka berada di tengah kawasan persawahan di luar batas Kota Surabaya. Mereka tersesat.
Jelang penarikan resimen, mereka melakukan patroli pengintaian di sekitar daerah perbatasan. Tampaknya hari itu bukan hari yang baik. Ketika sedang mencari jalan untuk pulang ke Kota Surabaya, mereka disergap pasukan gerilyawan yang bersenjatakan bambu runcing, golok atau kelewang.
Semua serdadu patroli itu terbunuh, kecuali Anderson yang terluka parah. Letnan muda itu berhasil lolos dari maut dan bersembunyi di sebuah parit dalam.
Akhirnya, tentara Republik Indonesia—yang resmi—berhasil menemukannya. Anderson, yang asal Kalgoorlie, Australia, sejak hari itu menjadi tawanan perang. Kemudian, dia dibawa ke sebuah rumah sakit di Mojokerto untuk mendapatkan perawatan medis.
Baca juga: Operasi Perawat, Misi Gerilyawan Surabaya yang Terlupakan Sejarah
Pada suatu hari, seorang perempuan bule muda menemui Anderson. Lengan perempuan itu menyandang ban lambang revolusi pejuang Republik: Merah-Putih. Dia mendapat tugas dari Amir Sjarifoeddin Harahap, Menteri Pertahanan Republik Indonesia, untuk menyelidiki keadaan Anderson dan kebutuhan tawanan perang. Saat itu ibu kota negara berada di Yogyakarta.
”Semua beres,” kata Anderson kepadanya. ”Belum pernah aku diperlakukan sebaik di tempat ini! Para dokter dan perawat di sini ramah sekali.” Bahkan, seorang perwira Republik kerap menjenguknya sembari menawarkan beberapa batang rokok, sekedar bercakap-cakap.
Kalau sang perwira itu tidak ada, demikian kata Anderson, ”Perawat-perawat yang manis-manis dan pandai berbahasa Inggris biasa masuk kemari dan mengajakku mengobrol.”
Lalu dia melanjutkan percakapannya dengan perempuan itu, ”Aku heran diperlakukan sebaik ini, karena aku seharusnya dianggap musuh.” Anderson memberikan alamat ibundanya seraya berkata, ”Tolong kabarkan padanya bahwa aku selamat dan tidak lama lagi akan pulang.”
Anderson tidak sendiri, ada seorang penerbang Inggris yang turut dirawat di rumah sakit itu. Pada saat yang sama, sebanyak 200 tentara Republik tengah ditawan dalam sel oleh Inggris di Jakarta. Bisa saja keduanya dijebloskan dalam kamp tawanan, namun Amir memilih menyelamatkan mereka ke tempat yang lebih aman.
Perempuan bule yang berada di pihak Republik itu bernama Muriel Stuart Walker—keturunan suku Viking yang sohor atas keberaniannya. Dia berada di Indonesia selama lima belas tahun, 1932-1947. Awalnya dia tinggal di Bali, diangkat sebagai anak oleh Raja Bali yang memberinya nama lokal ”K’tut Tantri”—media asing kerap salah menuliskan namanya sebagai ”Miss Daventry”.
K’tut Tantri mengisahkan perbincangan dengan Anderson. ”Selama berbicara dia tidak bisa duduk tenang,” ungkap Tantri, ”melonjak-lonjak terus seperti kanguru.”
Kisah ini merupakan cukilan dari novel otobiografi K'tut Tantri, Revolt in Paradise, yang terbit pertama kali di New York pada 1960. Buku ini juga pernah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul Revolusi di Nusa Damai pada 1982 dan 2006. Dalam novel itu dia berkisah tentang perjalanannya dari New York hingga ke Hindia Belanda, bermukim di Bali, jatuh cinta dengan ningrat setempat, hidup dalam tawanan Jepang, dan mendukung kemerdekaan Indonesia.
K’tut Tantri wafat di Australia pada 1997 dalam usia 99 tahun. Dia pernah menjalani hidup menderita sebagai tawanan perang Jepang. Bahkan, pernah dinyatakan tewas dalam kamp. Sayang, keterlibatan Tantri dalam gerilya dan perjuangan revolusi Republik Indonesia tampaknya kini nyaris dilupakan oleh bangsa Indonesia. Pada suatu malam, Soekarno pernah memperkenalkan perempuan bule itu kepada publik Indonesia. Mereka berada dalam panggung pidato.
”Kuperkenalkan Saudara K’tut Tantri dari Bali,” ujar Presiden Pertama RI tersebut. ”Saudara K’tut ini warga negara Amerika, kelahiran Inggris, tetapi ia lebih Indonesia daripada Inggris atau Amerika. Ia memihak kita. Ia telah berjuang sekuat tenaga untuk membantu kita berjuang demi kemerdekaan.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR