Bersama seorang pengemudi istana, Bung Karno keluyuran dengan mobil kecil tanpa tanda pengenal kepresidenan. Mereka menyusuri jalanan ibu kota, dan sesekali singgah sejenak mencicipi menu jalanan. “Adakalanya aku berhenti dan membeli sate di pinggiran jalan. Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang,” kenangnya. “Sungguh saat-saat yang menyenangkan.”
Kendati penampilannya sudah tersamar, ada kalanya misi rahasia Bung Karno terbongkar karena rakyat begitu mengenali cengkok dan warna suara presidennya. Jika perkara ini terjadi, Bung Karno buru-buru masuk mobil kecilnya dan segera tancap gas.
Saya berkesempatan menyaksikan lukisan "Pendjual Sate" karya Lee Man Fong koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Man Fong, yang diangkat Bung Karno sebagai pelukis istana pada 1960, menampilkan seorang tukang sate khas Madura dengan pikulannya, sementara pembelinya duduk menanti. Saya pun teringat dengan sate pikulan serupa yang pernah melintas di jalanan Yogyakarta sekitar awal 1980-an.
Pada kesempatan berbeda, saya bertanya soal cerita di balik lukisan itu kepada Mikke Susanto, kurator koleksi lukisan Istana Presiden dan sekaligus pengajar Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia di Yogyakarta.
"Lukisan Pendjual Sate adalah wujud kecintaan Lee Man Fong terhadap Indonesia," ungkap Mikke. Dia juga menambahkan, mungkin "lukisan tersebut dibeli pada saat pameran Yin Hua di Jakarta. Kemungkinan kedua, lukisan tersebut dikerjakan dan diberikan pada saat ia bertugas sebagai pelukis istana."
Mikke mengungkapkan bahwa Man Fong "mendirikan dan mengorganisasi sebuah kelompok bernama “Yin Hua”, sebuah organisasi pelukis keturunan Tionghoa pada tahun 1955." Setiap tahun, pada 1955-1960, kelompok ini menggelar pameran di Jakarta. Bung Karno pun rajin menyaksikan pameran mereka.
Apakah lukisan itu dipilih oleh Bung Karno karena menampilkan penjual sate? Entahlah. Namun, pastinya, Man Fong adalah pelukis istana yang menarik perhatian Bung Karno karena memadukan teknik lukis Cina klasik dan tema Indonesia. Bahkan, menurut Mikke, Bung Karno memiliki seratusan koleksi karya Man Fong, yang menjadikan koleksi terbanyak kedua setelah pelukis Dullah. Inilah bukti betapa Bung Karno menggemari lukisan-lukisan karya Man Fong.
Betapa sate telah hadir sebagai santapan diplomasi yang menyatukan selera dan kesetaraan nasib negara sedang berkembang di dua benua.
Kegemaran Bung Karno menyantap sate telah menjadikan hidangan ini sebagai salah satu menu adirasa yang hadir di Konperensi Asia Afrika pada 1955. Betapa sate telah hadir sebagai santapan diplomasi yang menyatukan selera dan kesetaraan nasib negara sedang berkembang di dua benua. Kita pun teringat kembali ketika sate menjadi alat pelentur diskusi bagi Bung Karno dan Roestam sekitar tiga dekade sebelumnya.
Bung Karno menjamu para delegasi untuk mencecapi kelezatan sate, tusuk demi tusuk, pada jamuan resmi pada konferensi akbar tadi. Bahkan, si Bung berkesempatan mengajak Perdana Menteri India dan sederet delegasi negara Afrika untuk singgah dan bersantap di kedai peraciknya.
Kedai peracik sate nan sohor itu bernama Rumah Makan Madrawi "Madura"—yang lebih sohor dengan sebutan Sate Madrawi. Pemiliknya adalah keluarga asal Madura asli yang mengadu nasib di Bandung. Selain menyajikan sate, kedai ini juga menghidangkan soto madura, gulai kambing, dan rawon. Dahulu, kedai ini berlokasi di dekat Masjid Agung Bandung. Apesnya, salah satu tengara pusaka kota itu gulung tikar pada pertengahan 1980-an.
Bukan suatu kebetulan apabila sate telah akrab di lidah orang-orang Asia Tenggara hingga Afrika. Orang Indonesia dan Malaysia biasa menyebutnya dengan sate, saté, atau satai. Tampaknya, sebutan itu berasal dari bahasa Tamil, yakni “sathai” yang bermakna makanan dari daging. Sementara itu orang Thailand dan Vietnam menyebut satay. Muslim di Filipina selatan lebih akrab menyebutnya dengan sattii. Sementara, sebutan sosatie menandai menu ini untuk orang Afrika Selatan.
Hutan Mikro Ala Jepang, Solusi Atasi Deforestasi yang Masih Saja Sulit Dibendung?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR