Belantara Asia Tenggara tidak memiliki sabana luas untuk menggembalakan ternak layaknya di belahan Asia Barat dan Asia Tengah. Leluhur kita pun menyantap daging lebih sedikit ketimbang leluhur negeri-negeri yang memiliki kuasa atas padang-padang gembala. Catatan para penjelajah pemburu rempah abad ke-16 dan abad ke-17 menunjukkan bahwa daging ternak sungguh sedikit dijumpai di Asia Tenggara.
“Jamuan mereka seringkali begitu bersahaja,” ungkap Goens, “terdiri atas domba, kambing, seperempat sapi atau kerbau panggang.”
Itulah serangkaian alasan mengapa di tanah bertudung hutan hujan tropis ini, perkara menyantap daging merupakan sesuatu yang istimewa. Daging yang dipanggang di atas jilatan api dan bara memiliki riwayat panjang di Nusantara. Kita pun memiliki catatan atas santapan hewani mereka.
Saya berbincang dengan Lien Dwiari Ratnawati di ruangan kerjanya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai seorang ahli arkeologi, Lien pernah meneliti menu makanan zaman Majapahit, yang dijumpainya dari sisa tulang, peralatan makan, relief candi, dan prasasti semasa soal peresmian daerah perdikan. Dalam acara peresmian itu lauk pauknya berupa daging kerbau, sapi, kijang, babi, ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan. Lien mengungkapkan bahwa cara pengolahan santapan sekitar abad ke-14 pun beragam, salah satunya dipanggang.
Catatan lain soal daging panggang juga diungkapkan oleh Rijklof van Goens dalam De Samenvattende Gesschriften. Pejabat VOC itu mengunjungi takhta Sultan Mataram pada 1648 hingga 1654. “Jamuan mereka seringkali begitu bersahaja,” ungkap Goens, “terdiri atas domba, kambing, seperempat sapi atau kerbau panggang.”
Cerita dari Lien dan Goens tadi hanya merujuk pada kegemaran leluhur kita menyantap daging panggang ketika pesta, bukan sate yang tersaji seperti dalam bayangan kita. Sejak kapan santapan penggoda itu mulai mencumbu lidah orang Nusantara?
Kabarnya, sate berkembang di Nusantara sekitar abad ke-19. Asal usulnya dari racikan pedagang jalanan yang terinspirasi kebab—kuliner asal India berupa daging cencang panggang yang disajikan bersama sayuran. Sate mulai menjadi bagian menu bersantap yang diracik dari dapur hotel papan atas di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sebagai contoh, setiap Minggu siang, Hotel des Indes dan Savoy Homann menyajikan Rijsttafel mewah yang setiap menu lauknya dibawakan oleh satu pelayan.
Meski tersebar di Asia Tenggara, tampaknya sate bermula di Indonesia, demikian ungkap Jennifer Brennan dalam Encyclopedia of Chinese and Oriental Cookery, yang terbit di London pada 1988. "Kendati Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, sesungguhnya asal mula sate yang berkembang di Asia Tenggara adalah Jawa, Indonesia,” ungkap Jennifer yang pakar sejarah kuliner Asia. “Di sini sate dikembangkan melalui adaptasi kebab India yang dibawa para pedagang Muslim ke Jawa. Bahkan, India tidak bisa mengakuinya sebagai negeri asal mula sate karena hidangan ini mendapat pengaruh Timur Tengah."
Sejatinya tidak ada yang benar-benar baru dari sebuah peradaban, tak terkecuali kuliner. Apalagi Indonesia memiliki latar pengaruh budaya yang beragam. Namun, jati diri rasa memungkinkan untuk digoreng bersama nasionalisme, sekaligus membangun semangat anti-imperialisme. Bung Karno pernah menggagas proyek buku menu bersantap khas Indonesia, yang menyatukan selera penjuru Nusantara dalam 1.600 resep masakan. Kumpulan resep itu bertajuk Buku Masakan Indonesia Mustika Rasa: Resep2 Masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, disusun oleh Departemen Pertanian. Kendati pembicaraan proyek ini berawal pada akhir 1950-an, wajah buku legendaris itu terbit pada 1967.
"Kendati Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, sesungguhnya asal mula sate yang berkembang di Asia Tenggara adalah Jawa, Indonesia,” ungkap Jennifer Brennan.
Resep sate pun turut dibeberkan dalam Mustika Rasa. Bagian keenam buku itu berisi 70 menu dalam kategori Lauk Pauk Bakaran, yang sepertiganya adalah santapan bernama “sate”.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR