Stephanie LeMenager, seorang profesor sastra Inggris menulis buku berjudul, Living Oil: Petroleum Culture in American Century, yang menggambarkan bahwa hasil-hasil budaya manusia, mulai dari novel, puisi, film, fotografi, dan televisi, menghasilkan mitologi yang disebut sebagai “petro-utopia” di abad ke-20.
Kala itu, gambar kilang yang menyemburkan minyak menandakan bahwa hidup baik di Amerika Serikat (AS) berarti bisa mengonsumsi bahan bakar fosil secara bebas.
Citra ideal ini terlihat jelas dari budaya populer, penggunaan lahan, hingga keadaan ekonomi, terlebih di California, AS. Bahkan, ketika negara bagian yang dijuluki Negara Emas (Golden State) tersebut kini memimpin AS dalam memerangi perubahan iklim, warisan dari budaya minyak bumi masih tampak dari padatnya pemukiman dan macetnya jalan raya.
Akademisi humanis seperti LeMenager membongkar permasalahan yang kompleks hingga ke akarnya.
Memang benar bahwa emisi karbon dioksida naik, maka panas akan tetap berada di atmosfer. Namun, ada nilai lainnya yang musti diperhitungkan dari sekadar kenaikan emisi. Nilai-nilai yang menjadi karakteristik identitas warga Amerika, seperti kemandirian, kebebasan, mobilitas, hingga kemampuan diri, justru terjerat oleh konsumsi minyak bumi.
Ketika berpikir solusi perubahan iklim, otomatis orang akan mengacu kepada hal-hal teknis semata.
Laporan dari IPCC memberikan banyak gagasan untuk upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Upaya mitigasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui teknologi seperti energi terbarukan. Sementara, upaya adaptasi berupa membangun tembok laut untuk bertahan dari dampak perubahan iklim.
Ditambah lagi, skema untuk merekayasa sistem iklim planet Bumi – misalnya, dengan melepaskan bahan kimia ke stratosfer untuk memantulkan kembali sinar matahari ke luar angkasa.
Pada prinsipnya, ilmuwan dan teknisi bisa melakukan semua solusi tersebut. Tapi, apakah upaya-upaya tersebut diperlukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, manusia memerlukan pendekatan dan teknologi yang lebih humanis dan berdasarkan pada pengetahuan yang non-ilmiah.
Para akademisi sastra dan filsuf bisa memasukkan etika ke dalam keputusan pengambilan kebijakan. Skema adaptasi yang mahal kecil kemungkinan bermanfaat bagi masyarakat adat, generasi mendatang dan masyarakat miskin, yaitu kelompok paling rentan terhadap perubahan iklim.
Para humanis dapat membantu pemegang keputusan dalam melihat sejarah dan budaya yang memengaruhi pilihan kebijakan. Misalnya, rencana kenaikan harga bahan bakar harus memperhatikan hubungan sejarah antara minyak bumi dan kebebasan individu.
Atau, kebijakan alternatifnya, manusia dapat terus menggunakan bahan bakar fosil sambil berusaha menahan emisi.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR