Nationalgeographic.co.id - Kebakaran hutan besar yang terjadi di Artik dan gelombang panas yang melanda Eropa adalah bukti terbaru bahwa perubahan iklim menentukan nasib manusia.
Namun, tidak seperti era lain yang datang dan pergi, misalnya era tahun 1960-an atau era investasi di dunia start-up , perubahan iklim yang tidak terkendali akan berujung kepada perubahan yang kompleks dan tidak dapat dihentikan bagi seluruh sistem pendukung kehidupan di planet Bumi.
Banyak orang menganggap perubahan iklim adalah masalah sains, yang hanyalah soal sistem fisika, biologi, dan teknis belaka.
Sebagai contoh, laporan terbaru panel PBB untuk perubahan iklim atau IPCC adalah ringkasan dari ilmu, kalkulasi dari ancaman, dan potensi solusi untuk iklim, meskipun isu ini adalah masalah yang disebabkan oleh tingkah laku kolektif manusia, – terutama mereka yang kaya –, di seluruh dunia.
Seorang ekonom Jepang Yoichi Kaya merangkum pandangan ini dengan persamaan yang dikenal sebagai Kaya Identity, yaitu emisi gas rumah kaca global merupakan hasil dari populasi manusia dan aktivitas ekonomi, bukan hanya berasal dari penggunaan energi dan teknologi.
Ilmu pengetahuan alam, tentu saja, penting untuk memahami persoalan sementara teknologi penting untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim. Namun, laporan IPCC hanya membahas etika iklim, keadilan, sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan tidak lebih dari 10 halaman.
Kami mengkhawatirkan penekanan berlebihan kepada sains justru menghambat penemuan solusi iklim yang efektif. Dalam pandangan kami, menyelesaikan permasalahan iklim dunia memerlukan kemampuan lebih dari sekadar sains.
Oleh sebab itu, kami berdua – ahli ekologi dan dekan ilmu humaniora – bekerja sama untuk mencari solusi iklim terbaik.
Baru-baru ini, kami mengembangkan program untuk memasukkan lulusan dari ilmu humaniora ke dalam tim ilmu pengetahuan alam.
Penyatuan ini juga sedang dipertimbangkan oleh pusat penelitian iklim.
Para akademisi di bidang humaniora menginterpretasi sejarah, literatur, dan gambar untuk mengetahui bagaimana manusia memahami dunia mereka. Kaum humanis menantang orang untuk memahami apa itu hidup baik dengan mengajukan pertanyaan sulit, seperti “Baik untuk siapa?” dan “Siapa yang harus bertanggung jawab?”
Mereka mengungkapkan bahwa kebudayaan mendorong perubahan iklim, bukan sekadar ilmu eksakta. Contohnya, ketergantungan manausia terhadap bahan bakar fosil.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR