Nationalgeographic.co.id - Tidak hanya Brasil yang sedang berjibaku dengan kebakaran hutan, Indonesia yang memiliki luasan hutan tropis terbesar ketiga di dunia juga berhadapan dengan api, terutama di sebagian Sumatra dan Kalimantan.
Salah seorang anggota pemadam kebakaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, atau Manggala Agni, gugur tertimpa pohon saat bertugas memadamkan api di provinsi Jambi.
Sewaktu masih menjadi mahasiswa S1 di tahun 1980an, saya juga ikut membantu pemadaman api di lahan gambut di Sumatra Selatan. Dan, hal tersebut bukan perkara yang mudah dan berbahaya, apalagi di lahan gambut.
Kami harus tahan dengan panas udara dan asap tebal, itu tidak hanya satu atau dua jam, tapi bisa berlangsung lima hingga enam jam.
Pengalaman pertama saya memadamkan api pada tahun 1986 di HTI (Hutan Tanaman Industri), saat sedang melakukan penelitian di Sumatra Selatan. Kami harus selalu waspada, bahkan sore atau malam hari, karena api terus menyala.
Baca Juga: Gletser Mencair Akibat Perubahan Iklim, Lima Pulau Baru di Rusia Terungkap
Saya kembali membantu pemadaman api pada tahun 1990-an dan 1994 saat melakukan penelitian S2. Saya juga ikut pemadaman pada tahun 1997 dan 1998, saat Indonesia menghadapi kejadian kebakaran hutan terparah, 11 juta hektare hutan terbakar.
Pada masa itu, malam sangat gelap di tempat kebakaran, karena asap terlalu tebal. Kami tidak bisa melihat-lihat. Partikel dari asap yang membuat tidak nyaman. Bayangkan saja seperti tumpukan sampah yang dibakar, pekatnya sama seperti itu.
Ditambah lagi, kami harus selalu waspada dengan lahan gambut yang terbakar karena bisa amblas. Lahan gambut yang terbakar sangat rentan terhadap penurunan tanah.
Tantangan lainnya adalah bagaimana memasukkan alat-alat berat, selang, ke lokasi kebakaran.
Kebakaran gambut di Indonesia terkenal sulit dipadamkan dan menghasilkan asap yang mengaburkan pandangan serta menyesakkan.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar hutan di Indonesia merupakan hutan gambut, yang terbuat dari dedaunan yang membusuk dan bahan organik lainnya yang kedalamannya bisa mencapai 10 meter.
Berhadapan dengan kebakaran hutan yang terjadi di area gambut berbeda dengan kebakaran lainnya di mana anda bisa melihat api yang menyebar di atas permukaan tanah. Hal ini tidak terjadi untuk kasus kebakaran hutan di lahan gambut.
Ketika gambut mengering akibat permukaan air yang rendah, maka api bisa menyebar dengan cepat melalui akar yang berada di bawah tanah. Api itu lalu turun membakar ke bagian tanaman bagian bawah dan semak-semak. Sehingga, kami sebenarnya tidak pernah benar-benar bisa mengetahui lokasi api, yang bisa kami lihat hanya asap saja.
Oleh sebab itu, cara yang paling efektif untuk menghentikan api adalah dengan mengairi lahan gambut, membanjiri mereka, sehingga air bisa masuk ke dalam pori-pori akar untuk memadamkan api tersebut.
Cara lainnya adalah membuat tempat penampungan air, atau embung, di daerah rawan kebakaran sehingga memudahkan untuk mengakses air jika dibutuhkan untuk pemadaman. Embung ini diperlukan karena akan sulit untuk menemukan air di musim kemarau, terutama pada gambut yang terbakar.
Pengeboman air dari helikopter tidak terlalu efektif untuk menghentikan lahan gambut yang terbakar karena air hanya jatuh pada puncak-puncak pohon dan cepat menguap bahkan sebelum sampai ke tanah.
Jika lahan gambut tidak dibanjiri air, siklus tersebut akan terus terjadi : udara kering, api, udara kering, dan api.
Seharusnya, lahan gambut harus selalu basah. Anda harus mempunyai air di lahan gambut, karena jika tidak akan berbahaya.
Ancaman dari lahan gambut yang terbakar tidak hanya bagi lingkungan, namun juga bisa berbahaya bagi manusia.
Berdasarkan pengalaman saya, seringkali orang-orang terlalu antusias memadamkan api dan memilih bekerja berjam-jam lamanya di daerah yang terbakar. Kondisi ini justru memperburuk kesehatan mereka.
Pemadam kebakaran sudah dibekali dengan pengetahuan dan keahlian (untuk memadamkan api). Tapi, kecelakaan bisa saja terjadi. Pohon-pohon menjadi rawan saat kebakaran lahan gambut karena api telah menggerogoti akar-akar mereka. Jadi, begitu ada sedikit saja tekanan atau angin, mereka mudah tumbang.
Saya pernah hampir mencelakai diri saya sendiri saat pemadaman api di Riau, pohon dengan diameter 40-50 meter tiba-tiba jatuh di dekat tempat saya berdiri.
Kejadian-kejadian seperti ini sungguh tidak bisa diprediksi. Jadi, saya selalu mengingatkan bahwa baik untuk memiliki semangat yang tinggi memadamkan api, namun mereka juga harus selalu waspada di lapangan.
Selain itu, penting juga memiliki strategi yang bagus, termasuk persediaan logistik, karena orang akan berjam-jam terjebak di daerah terbakar. Jadi, harus dipastikan pasokan makanan dan air bagi mereka.
Upaya pemadaman api di lahan gambut sangatlah mahal. Untuk menyewa helikopter di Indonesia bisa menghabiskan sedikitnya US$ 2.000 hingga $3.000 , atau sekitar Rp28,5 juta hingga Rp42,7 juta, setiap jam. Sementara, tidak mungkin api bisa padam hanya sejam atau dua jam.
Upaya ini jelas tidak terlalu efektif untuk memadamkan api ketimbang mengairi gambut.
Itulah mengapa pengawasan praktik dari pembukaan lahan dan pemulihan lahan gambut sangat penting.
Baca Juga: Habitat Berkurang, Konflik Gajah-Manusia Terus Terjadi di Aceh
Pemerintah Indonesia telah mengamanatkan Badan Restorasi Lahan Gambut atau BRG, untuk merehabilitasi 2,6 juta hektar lahan gambut dan memastikan lahan ini basah sepanjang tahun. Sekitar 75% dari area tersebut berada di area konsesi perusahaan sisanya adalah tanah rakyat atau taman nasional.
Sehingga, lembaga ini bisa membantu pengawasan agar perusahaan-perusahaan tersebut benar-benar melakukan upaya restorasi gambut atau tidak.
Upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan sudah dilakukan pemerintah Indonesia dengan adanya sistem peringatan dini, peta wilayah berisiko tinggi, upaya restorasi dan penegakan hukum yang melarang pembukaan lahan dan hutan menggunakan api.
Jika kita serius mencegah kebakaran hutan, kita harus memastikan semua upaya ini berhasil. Karena, jika hutan terbakar, sangat sulit untuk mematikannya.
Fahri Nur Muharom menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Penulis: Bambang Hero Saharjo, Professor of Forest Protection, Institut Pertanian Bogor
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR