Nationalgeographic.co.id— “Kue bulan itu bentuknya bulat sempurna,” ungkap Agni Malagina, sinolog dari Program Studi Cina di Universitas Indonesia. “Bulan dianggap bulat sempurna terjadi pada tanggal 15 bulan delapan di negeri Cina.” Saat itu pertengahan musim gugur, demikian dia menggambarkan semarak perayaan, warga menyantapnya bersama-sama di taman sambil duduk melingkari meja bundar. Biasanya sembari menyantap, mereka mengenang kasih sayang orang-orang terdekat.
Agni menambahkan bahwa beberapa buah-buahan yang biasanya digunakan untuk menambah semarak Festival Kue Bulan. Umumnya warga pecinan menyediakan labu sebagai perlambang harapan bersatunya keluarga, delima simbol banyak keturunan, dan buah apel yang bermakna harapan kedamaian.
Lalu bagaimana asal-usul Festival Kue Bulan itu? Festival ini kerap dihubungkan dengan kisah Dewi Bulan dalam mitologi rakyat Cina.
Suatu masa, sepuluh matahari terbit membakar Bumi. Hou Yi, seorang pria pemanah ulung bersama istrinya yang bernama Chang’e bertugas untuk membinasakan petaka itu. Hou Yi membidik anak panahnya. Dia berhasil menjatuhkan sembilan matahari. Matahari pun tersisa satu untuk menerangi Bumi.
Baca juga: Makam Kapitan Cina Pertama di Batavia, Makam Tertua Seantero Jakarta
Hou Yi berhasil menghalau petaka itu. Seorang suci menghadiahkannya sebotol obat keabadian. Namun, Hou Yi tidak ingin hidup abadi tanpa ditemani istrinya, Chang’e. Dia memberikan kepada istrinya sebotol obat kabadian tersebut untuk disimpan.
Namun, seseorang memaksa Chang’e untuk menyerahkan botol tersebut. Karena menjaga amanat suaminya, Chang’e pun menenggak sebotol obat keabadian itu. Perempuan itu pun terbang menuju kayangan. Kemudian dia memilih bulan sebagai tempat tinggalnya, sembari menanti harap dapat hidup bersama suaminya.
Mengetahui kejadian ini Hou Yi bersedih, perempuan yang dicintainya telah meninggalkannya menuju kayangan. Tetangga mereka pun bersimpati dengan kejadian tersebut dan mengenangnya dengan makan kue bulan bersama. Di negeri asalnya, perayaan ini lebih populer dengan istilah Zhong Qiu Jie atau Festival Musim Gugur. Demikianlah, cerita singkat tentang asal-usul Festival Kue Bulan.
“Kue bulan itu dulunya pernah dipakai sebagai alat intelijen,” ungkap Agni. “Ketika perang pada masa Zhu Yuan Zang [pendiri dinasti Ming] sekitar abad ke-14 Masehi, di dalam kue bulan terselip kertas yang isinya pesan rahasia.”
Agni juga memaparkan perkembangan kue bulan. Awalnya kue itu digunakan untuk persembahan arwah leluhur atau dewa. Namun, lantaran penghormatan dewa dan leluhur biasanya hari ke-15 setiap bulan dalam kalender Cina, kue bulan yang tadinya kudapan biasa menjadi kudapan istimewa untuk sesajen. “Kuenya manis seperti kue keranjang. Biasanya isinya bagian kuning telur asin atau biji teratai,” ungkapnya. “Telur lambang kesuburan dan biji teratai menjadi simbol kebahagiaan.”
“Sejak masa reformasi dan era Gus Dur,” Agni menjelaskan, “Kue bulan menjadi sangat populer.” Kini, kue itu hampir dijumpai di setiap supermarket, hotel, hingga toko-toko kudapan taiwan. Di Jakarta, kue bulan kerap menjadi hadiah dan tanda ucapan terima kasih sesama teman, atau antara bos dan karyawan. "Gus Dur membuka ruang ekspresi kebudayaan masyarakat Cina Indonesia untuk merayakan tradisi tanpa sekat tembok-tembok rumah atau pagar klenteng."
Pada masa Orde Baru, kehidupan dan ekspresi budaya warga Cina begitu terkekang negara. Pada 1967, Presiden Soeharto menerbitkan peraturan tentang pembatasan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Peraturan itu menetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat warga Cina hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Akibatnya, seluruh perayaan tradisi dan kegamaan warga Cina di Indonesia dilarang dirayakan secara terbuka, termasuk Festival Kue Bulan, barangsai, hingga perayaan Imlek. Kebebasan berekspresi lain yang turut dikekang adalah soal pemakaian nama Cina.
Baca juga: Perlombaan Panjat Pinang Berakar dari Tradisi Pecinan Nusantara
Rezim pengekangan itu perlahan-lahan runtuh setelah Era Reformasi 1998. Presiden Abdurrachman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, membuka kebebasan beragama bagi warga Cina. Bahkan, ia meresmikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif—kini hari libur nasional.
"Gus Dur," kata Agni, "saya kira menjadi bagian penting dalam keberlanjutan ekspresi budaya etnis Cina di Indonesia. Dalam hal ini peran Gus Dur merawat keberagaman, solidaritas, dan toleransi antar etnis di Indonesia menjadi signifikan." Dia menambahkan, "Gus Dur tak hanya merangkul, namun memungkinkan produksi pengetahuan tentang budaya cina peranakan dan pengaruhnya dalam sejarah serta budaya Indonesia menjadi terbuka luas."
Kebebasan berekspresi dalam Perayaan Kue Bulan dan perayaan tradisional lainnya bukan sekadar usaha Gus Dur dalam membuka ruang berekspresi, tetapi juga mengalirkan pengetahuan budaya pada masyarakat indonesia yang heterogen. “Kue bulan sudah menembus batas identitas karena siapa pun bisa menikmatinya. Identitas kue ini telah mengglobal sekaligus melokal,” pungkasnya.
Baca juga: Benteng Makasar, Kenangan Sepetak Pecinan Tangerang di Zaman VOC
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR