Nationalgeographic.co.id - Kajian yang menghasilkan kesimpulan mencengangkan ini seperti meneguhkan peringatan para peneliti lain sebelumnya, di antaranya Rodolfo Dirzo dalam jurnal Science (2014). Dalam kajiannya itu, Dirzo menyebutkan, 322 spesies hewan bertulang belakang (vertebrata) punah sejak tahun 1500 dan yang tersisa menurun populasinya hingga 25 persen. Hewan tak bertulang belakang (invertebrata) sama saja: dari 67 persen jenis yang diketahui, 45 persen anjlok populasinya.
Situasi ini, menurut Dirzo, akan ”membawa pemusnahan massal keenam kalinya di Bumi”. Para ilmuwan telah mengidentifikasi, Bumi setidaknya pernah lima kali mengalami pemusnahan massal. Terakhir, pemusnahan massal terjadi 66 juta tahun lalu akibat tumbukan meteor besar ke Bumi. Pemusnahan massal ke depan disebabkan oleh faktor manusia: disebut babak Antroposen.
Manusia telah merusak siklus karbon di Bumi, melebihi kehancuran akibat jatuhnya asterod 66 juta tahun lalu yang memunahkan 75 persen kehidupan di Bumi, termasuk dinosaurus. Penelitian terbaru menunjukkan, kehancuran akibat melonjaknya emisi karbon yang dipicu ulah manusia sejak tahun 1750 juga mengarah pada kepunahan massal kehidupan.
Baca Juga: ‘Skenario 2050’, Prediksi Peneliti Tentang Kepunahan Manusia dalam 30 Tahun Mendatang
Kepunahan massal ini terutama dari dampak langsung emisi karbon terhadap terjadinya perubahan iklim dan pengasaman lautan.
Kesimpulan ini berasal dari serangkaian paper ilmiah yang diterbitkan di jurnal Elements pada Selasa (1/10/2019) dan dirilis Livescience pada hari yang sama. Kajian ditulis oleh tim peneliti dari Deep Carbon Observatory (DCO), sebuah kumpulan global lebih dari 1.000 ilmuwan yang mempelajari pergerakan karbon dari inti planet kita hingga ke ruang angkasa.
Dalam edisi khusus jurnal itu, para ilmuwan DCO mencermati proses terjadinya ”gangguan” terhadap siklus karbon di Bumi selama 500 juta tahun terakhir. Gas karbon, dalam bentuk karbon dioksida dan karbon monoksida, secara alami dipompa dari inti Bumi ke atmosfer oleh gunung berapi dan rekahan bawah tanah.
Baca Juga: Di Tengah Ancaman Kepunahan, Ini Foto-foto Menakjubkan Satwa Liar di Habitatnya
Dalam kondisi normal, emisi karbon akan diserap ke interior planet pada batas lempeng tektonik. Keseimbangan ini membuat iklim yang ramah, baik di darat dan laut yang menjadi fondasi bagi keanekaragaman hayati planet kita.
Namun, terkadang terjadi peristiwa dahsyat yang mengganggu keseimbangan ini dan membuat langit dibanjiri gas rumah kaca karbon dioksida (CO2). Gangguan ini menyebabkan iklim planet tidak ramah selama ratusan tahun, bahkan bisa mengakibatkan kepunahan massal.
Dalam makalah ini, para peneliti mengidentifikasi beberapa gangguan besar terhadap siklus karbon yang pernah terjadi di Bumi. Di antaranya, letusan gunung berapi raksasa dan tabrakan asteroid yang memusnahkan dinosaurus sekitar 66 juta tahun yang lalu.
Dengan mempelajari peristiwa-peristiwa yang mengganggu siklus karbon ini, para penulis bisa memproyeksikan skala bencana akibat melonjaknya gas rumah kaca akibat ulah manusia sejak Revolusi Industri.
”Hari ini, emisi karbon yang dihasilkan secara antropogenik, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil yang terbentuk selama jutaan tahun, berkontribusi terhadap gangguan besar pada siklus karbon,” tulis para peneliti dalam pengantar mereka untuk masalah ini.
Baca Juga: Tabrakan Asteroid Picu Gunung Berapi dan Kepunahan Dinosaurus
Para peneliti ini menghitung, jumlah total CO2 yang dilepaskan ke atmosfer setiap tahun oleh pembakaran bahan bakar fosil telah melebihi jumlah kumulatif karbon yang dilepaskan oleh setiap gunung berapi di Bumi. Jumlahnya mencapai 80 kali lipat.
Menurut mereka, krisis iklim kita saat ini sudah setara dengan bencana yang disebabkan saat asteroid selebar 10 kilometer jatuh di Teluk Meksiko 66 juta tahun yang lalu. Bencana kala itu menyebabkan kepunahan 75 persen kehidupan di Bumi, termasuk semua dinosaurus non-unggas.
Ketika asteroid itu menabrak Bumi dengan miliaran kali energi bom atom, gelombang kejut dari ledakan itu memicu gempa bumi, letusan gunung berapi, dan kebakaran hutan. Kombinasi itu mengeluarkan sebanyak 1.400 gigaton (1.400 miliar ton) karbon dioksida ke atmosfer.
Efek rumah kaca yang dihasilkan dari emisi mendadak saat itu, telah menghangatkan planet ini dan mengasamkan lautan selama ratusan tahun. Hal itulah yang berkontribusi pada kematian massal tanaman dan hewan yang dikenal sebagai kepunahan Cretaceous-Paleogene.
Para peneliti ini juga menghitung, emisi COX yang dipicu tumbukan meteor saat itu masih lebih rendah dibandingkan emisi yang telah dikeluarkan manusia sejak 1750. Total emisi yang dikeluarkan sejak saat itu hingga kini berjumlah sekitar 2.000 gigaton CO2.
Baca Juga: Kepunahan Biodiversitas Tertinggi, Indonesia Peringkat Ke-6
Berbeda dengan pelepasan emisi tiba-tiba saat meteor jatuh, emisi karbon saat ini secara progresid terjadi selama bertahun-tahun. Dampak perubahan iklim akibat penambahan emisi saat ini pun terjadi secara perlahan, namun jelas indikasinya ada peningkatan setiap tahun.
Baca Juga: Dimakan Manusia, Penyebab Kepunahan Kungkang Raksasa di Zaman Es
Kajian menekankan bahwa kecepatan dan skala manusia mengganggu keseimbangan karbon planet ini telah sebanding dengan beberapa peristiwa geologis yang paling dahsyat dalam sejarah.
”Perubahan iklim saat ini akan meninggalkan warisan berupa kepunahan massal kehidupan di Bumi akibat rusaknya habitat. Perubahan iklim yang disebabkan oleh gas rumah kaca pada biosfer sudah berada pada titik kritis,” sebut para peneliti ini. (Ahmad Arif/Kompas.id)
Source | : | Kompas.id |
Penulis | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR