Pod perak berkilau, yang terlihat seperti dalam film James Bond, terpancang oleh tiang-tiang yang terangkat, melayang di atas Lapisan Es Antarktika Timur, di punggung granit yang sempit.
Di Antarktika, struktur seperti ini agaknya biasa.
Stasiun penelitian aerodinamis tersebar di tepi benua, tempat para peneliti dari seluruh dunia berkumpul untuk mengukur aliran es, atmosfer, dan bioma alami.
Stasiun-stasiun ini memiliki karakter yang serupa, tapi stasiun Princess Elisabeth menonjol karena belum pernah saya lihat sebelumnya.
Hampir setiap inci ditutupi oleh panel surya, mulai dari atap hingga dinding. Bahkan, ada yang disekrup ke kerangka yang terpancang ke tanah.
Panel surya harus dipasang tinggi di atas tanah yang tertutup salju agar dapat sepenuhnya menangkap sinar matahari saat musim panas.
Turbin angin dibor ke punggung granit di bawah salju dan es, sehingga meniadakan kebutuhan akan pondasi beton yang besar.
Bilah-bilah mereka dirawat dengan pelumas polar yang dirancang dengan hati-hati agar tetap dapat berhenti beroperasi ketika badai hebat datang.
Sumber energi terbarukan ini mencairkan salju menjadi air, yang kemudian disaring dan digunakan kembali di lokasi untuk mengurangi limbah.
Putaran dari sembilan turbin angin menghasilkan listrik untuk pangkalan. Sementara, stasiun penelitian lain harus menggunakan bahan bakar fosil untuk menjaga pekerja mereka tetap hangat, mendapatkan makanan dan air.
Stasiun Princess Elisabeth Antarctica menggunakan 100% energi terbarukan dari matahari, angin, dan air beku yang berlimpah.
Sehingga, tidak memerlukan pemanasan konvensional. Sembilan lapis dari selubung dan isolasi menjaga udara dingin di luar dan membuat stasiun lebih hangat. Setiap peralatan listrik menggunakan energi terbarukan. Bahkan, pengering rambut saya mengambil tenaga dari angin Antartika dan sinar matahari musim panas.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR