Agar stasiun ini bisa beroperasi secara berkelanjutan, maka perlu ada hierarki yang ketat untuk penggunaan energi di pangkalan.
Keselamatan adalah prioritas utama, sehingga listrik untuk operasi dokter, kantor komandan stasiun, alarm kebakaran, detektor asap, dan koneksi satelit untuk memberi tahu kebutuhan akan bantuan dari luar didahulukan.
Kebutuhan dasar manusia seperti makanan dan air adalah yang kedua, sementara fasilitas kerja, seperti lampu, mikroskop, dan laptop berada di urutan ketiga.
Kemewahan yang tidak perlu seperti mandi atau laundry berada di urutan paling bawah dalam prioritas kebutuhan energi.
Kami mandi sekali atau dua kali seminggu, menggunakan pancuran bertombol untuk membatasi jumlah air yang kami gunakan.
Semua orang mengerti dan menghormati sistem ini. Kita semua datang ke Antarktika untuk merasakan lingkungan alam paling mempesona di Bumi, kita tidak datang ke sini untuk mencemari lingkungan.
Ketika saya bertanya kepada Alain Hubert, pemimpin ekspedisi, mengapa dia ingin membangun pangkalan tanpa emisi di Antartika, dia berkata bahwa jika kita dapat melakukannya di sini, kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa ini bisa dilakukan di mana saja.
Baca Juga: Tujuh Cara Mengurangi Penggunaan Plastik Dalam Kehidupan Sehari-hari
Saya berharap hidup dan bekerja tanpa emisi karbon di mana saja dapat menjadi kenyataan. Stasiun Penelitian Princess Elisabeth Antarctika menunjukkan kepada kita bahwa memungkinkan untuk gaya hidup tanpa emisi.
Sebagai pemegang Baillet Latour Antarctica Fellowship yang bergengsi, saya dapat mengunjungi stasiun ini sekali lagi, pada Januari 2020, untuk mengumpulkan sampel agar lebih memahami lagi siklus umpan balik karbon global.
Pada saat itu, bekerja di sana akan lebih berkelanjutan dengan mobil salju baru bertenaga listrik. Saya tidak sabar untuk mencobanya.
Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris
Penulis: Kate Winter, Research Fellow of Antarctic Science, Northumbria University, Newcastle
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR