Nationalgeographic.co.id - Sebagai seorang ilmuwan perubahan iklim, saya malu dengan jejak karbon saya yang tinggi akibat berpergian dan bekerja di Antartika.
Para peneliti yang berbasis di Inggris harus melakukan empat atau lima kali penerbangan untuk sampai ke benua tersebut. Dan, stasiun yang kami kunjungi mengandalkan listrik yang berbahan bakar fosil.
Makanan dan sampah kami dikirim dengan kapal dari dan ke Afrika Selatan, Amerika Selatan, atau Selandia Baru.
Ketika kami menjelajah lebih jauh untuk keperluan penelitian dan mendirikan kamp sementara, kami terbang dengan generator portabel dan mobil salju kami.
Antarktika adalah tempat terpencil dan paling tidak ramah di Bumi, jadi tidak heran jika orang yang tinggal di sana harus berjuang untuk keluar dari kebiasaan tinggal di tempat yang nyaman.
Baca Juga: Krisis Iklim Picu Bencana di Dunia, Apa yang Harus Dilakukan?
Antarktika sangat dingin. Selama 24 jam tanpa sinar matahari saat musim dingin.
Tetesan es membeku akan menimbun panel-panel surya yang biasanya beroperasi di bulan-bulan musim panas dan fondasi beton untuk turbin angin tidak akan menyala dalam cuaca dingin.
Butuh biaya mahal untuk mengirimkan komponen energi terbarukan dan sulit untuk menemukan tempat yang hangat dan kering untuk menyimpan baterai besar yang berfungsi sebagai cadangan energi.
Tantangan-tantangan ini nyata. Namun, saya telah melihat bagaimana satu-satunya stasiun penelitian dengan nol-emisi di Antartika, Stasiun Penelitian Princess Elisabeth Antarctica di Antartika Timur, dapat mengatasi masalah ini.
Stasiun ini dikelola selama musim panas, dari Oktober hingga Maret, ketika kebanyakan ilmuwan--seperti saya--melakukan penelitian.
Penjelajah Belgia Alain Hubert mencetuskan ide stasiun penelitian nol emisi di Antarktika saat melakukan perjalanan trans-antarktik dengan ski pada tahun 1998. Bersama mitra lainnya, ia pun membangun International Polar Foundation. Stasiun Princess Elisabeth Antarctica telah menyambut para peneliti sejak musim penelitian pertamanya di tahun 2008-2009.
Pod perak berkilau, yang terlihat seperti dalam film James Bond, terpancang oleh tiang-tiang yang terangkat, melayang di atas Lapisan Es Antarktika Timur, di punggung granit yang sempit.
Di Antarktika, struktur seperti ini agaknya biasa.
Stasiun penelitian aerodinamis tersebar di tepi benua, tempat para peneliti dari seluruh dunia berkumpul untuk mengukur aliran es, atmosfer, dan bioma alami.
Stasiun-stasiun ini memiliki karakter yang serupa, tapi stasiun Princess Elisabeth menonjol karena belum pernah saya lihat sebelumnya.
Hampir setiap inci ditutupi oleh panel surya, mulai dari atap hingga dinding. Bahkan, ada yang disekrup ke kerangka yang terpancang ke tanah.
Panel surya harus dipasang tinggi di atas tanah yang tertutup salju agar dapat sepenuhnya menangkap sinar matahari saat musim panas.
Turbin angin dibor ke punggung granit di bawah salju dan es, sehingga meniadakan kebutuhan akan pondasi beton yang besar.
Bilah-bilah mereka dirawat dengan pelumas polar yang dirancang dengan hati-hati agar tetap dapat berhenti beroperasi ketika badai hebat datang.
Sumber energi terbarukan ini mencairkan salju menjadi air, yang kemudian disaring dan digunakan kembali di lokasi untuk mengurangi limbah.
Putaran dari sembilan turbin angin menghasilkan listrik untuk pangkalan. Sementara, stasiun penelitian lain harus menggunakan bahan bakar fosil untuk menjaga pekerja mereka tetap hangat, mendapatkan makanan dan air.
Stasiun Princess Elisabeth Antarctica menggunakan 100% energi terbarukan dari matahari, angin, dan air beku yang berlimpah.
Sehingga, tidak memerlukan pemanasan konvensional. Sembilan lapis dari selubung dan isolasi menjaga udara dingin di luar dan membuat stasiun lebih hangat. Setiap peralatan listrik menggunakan energi terbarukan. Bahkan, pengering rambut saya mengambil tenaga dari angin Antartika dan sinar matahari musim panas.
Agar stasiun ini bisa beroperasi secara berkelanjutan, maka perlu ada hierarki yang ketat untuk penggunaan energi di pangkalan.
Keselamatan adalah prioritas utama, sehingga listrik untuk operasi dokter, kantor komandan stasiun, alarm kebakaran, detektor asap, dan koneksi satelit untuk memberi tahu kebutuhan akan bantuan dari luar didahulukan.
Kebutuhan dasar manusia seperti makanan dan air adalah yang kedua, sementara fasilitas kerja, seperti lampu, mikroskop, dan laptop berada di urutan ketiga.
Kemewahan yang tidak perlu seperti mandi atau laundry berada di urutan paling bawah dalam prioritas kebutuhan energi.
Kami mandi sekali atau dua kali seminggu, menggunakan pancuran bertombol untuk membatasi jumlah air yang kami gunakan.
Semua orang mengerti dan menghormati sistem ini. Kita semua datang ke Antarktika untuk merasakan lingkungan alam paling mempesona di Bumi, kita tidak datang ke sini untuk mencemari lingkungan.
Ketika saya bertanya kepada Alain Hubert, pemimpin ekspedisi, mengapa dia ingin membangun pangkalan tanpa emisi di Antartika, dia berkata bahwa jika kita dapat melakukannya di sini, kita dapat menunjukkan kepada dunia bahwa ini bisa dilakukan di mana saja.
Baca Juga: Tujuh Cara Mengurangi Penggunaan Plastik Dalam Kehidupan Sehari-hari
Saya berharap hidup dan bekerja tanpa emisi karbon di mana saja dapat menjadi kenyataan. Stasiun Penelitian Princess Elisabeth Antarctika menunjukkan kepada kita bahwa memungkinkan untuk gaya hidup tanpa emisi.
Sebagai pemegang Baillet Latour Antarctica Fellowship yang bergengsi, saya dapat mengunjungi stasiun ini sekali lagi, pada Januari 2020, untuk mengumpulkan sampel agar lebih memahami lagi siklus umpan balik karbon global.
Pada saat itu, bekerja di sana akan lebih berkelanjutan dengan mobil salju baru bertenaga listrik. Saya tidak sabar untuk mencobanya.
Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris
Penulis: Kate Winter, Research Fellow of Antarctic Science, Northumbria University, Newcastle
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR