Nationalgeographic.co.id - Bagaimana resolusi tahun baru Anda sejauh ini? Kebiasaan lama sudah banyak yang kembali–dan Anda tidak sendiri jika Anda sudah tidak menggunakan keanggotaan gimnasium yang baru Anda bayarkan itu. Anda juga tidak sendirian jika tahun 2020 sudah membuat Anda stres.
Stres, dan keletihan yang lebih kronis seperti burnout, lumrah terjadi dalam pekerjaan masa kini. Kita berada di bawah tekanan budaya kehadiran yang menjunjung tinggi kehadiran di tempat kerja dengan mengorbankan kesehatan. Tapi mengapa fenomena ini terjadi dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya?
Telah ditemukan keterkaitan antara budaya kehadiran, yang membuat para pekerja bekerja lebih lama, dengan tingkat burnout yang lebih tinggi. Ini adalah lawan dari absenteisme. Karyawan tetap bekerja meski pun sakit, atau bahkan bekerja berlebihan, dan ini adalah hal yang sudah biasa terjadi. Para karyawan merasa mereka tidak dapat melawan budaya ini karena semua orang melakukan hal yang sama.
Baca Juga: Studi: Media Sosial Ternyata Berpengaruh Pada Pola Makan Kita
Mereka yang bekerja meski sakit atau bekerja dengan jam yang lebih panjang kerap bekerja di bawah potensi mereka. Penelitian menunjukkan bahwa hal ini berdampak pada penurunan produktivitas.
Sebuah kajian di Belanda yang melihat pada berbagai jenis pekerjaan menemukan bahwa kehadiran pada awalnya tampak menguntungkan bagi perusahaan karena jumlah karyawan yang tidak hadir berkurang. Tapi dalam jangka panjang, fenomena ini nantinya malah mengakibatkan meningkatnya jumlah karyawan yang sakit dan tingkat ketidakhadiran berikutnya.
Kajian lainnya menunjukkan bahwa budaya kehadiran dapat mengakibatkan penurunan setidaknya sepertiga tingkat produktivitas pada seorang karyawan dan biayanya malah menjadi lebih mahal bagi perusahaan daripada membiarkan karyawan tidak masuk kerja. Hal ini jugalah yang membuat karyawan sakit.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi mengkategorikan burnout sebagai “fenomena kerja”. Burnout dimaknai sebagai “sindrom yang berasal dari kegagalan menanggulangi stres kronis akibat pekerjaan”. Ciri-cirinya adalah rasa lelah atau kehabisan tenaga, perasaan negatif dan sinis terhadap pekerjaan, dan penurunan kinerja.
Mengatasi burnout adalah tanggung jawab perusahaan dan karyawan itu sendiri. Jika meningkatkan kesehatan adalah prioritas Anda, maka kesehatan kerja Anda juga berperan penting – baik secara fisik maupun mental.
Para pemimpin perlu menjadi teladan. Ada kebiasaan meniru yakni karyawan meniru tindakan atasan mereka. Mereka tidak ingin tampak lemah dan merasa perlu menunjukkan kemampuan mereka. Jika para atasan mulai istirahat makan siang, berjalan kaki pada tengah hari, dan pulang kerja pada jam yang masuk akal, hal itu memberikan contoh yang baik bagi karyawan mereka.
Jika Anda adalah manajer dan Anda melihat perilaku budaya kehadiran yang semakin mencolok, budaya mempermalukan satu sama lain bisa saja ada dalam perusahaan Anda. Pertimbangkan untuk mengatasi masalah ini. Sediakan buah-buahan, ajak para karyawan untuk berjalan kaki di luar kantor, dan minta mereka untuk pulang sesuai jadwal yang telah ditentukan. Ini adalah beberapa perubahan kecil yang dapat Anda lakukan dalam membangun tempat kerja yang lebih sehat dan menyenangkan. Jika memungkinkan, adakan lokakarya yang mengundang konsultan kesehatan di tempat kerja untuk Anda dan karyawan Anda.
Jika Anda karyawan, jangan berharap bahwa kesehatan di tempat kerja hanyalah tanggung jawab bos Anda. Anda juga harus melakukan perubahan pada diri Anda sendiri. Tidak ada salahnya kembali menjalankan resolusi tahun baru yang telah Anda buat.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR