Baca Juga: Studi: Kumbang Daun Berpotensi Lidungi Jutaan Orang Dari Hay Fever
Lalu, ekperimen cegah-pilah-olah berlanjut pada kelas belajar zero waste sejak 2018. Hasilnya, kelas itu menunjukkan bahwa seorang Ibu adalah kunci perubahan di rumah.
Salah satu yang bisa seorang ibu lakukan adalah penimbangan sampah. Mereka melakukan aktivitas itu sebelum dan setelah mengikuti kelas. Setelah kelas selesai pada 12 pertemuan, masing-masing peserta menimbang kembali sampah. Mereka menerapkan cegah-pilah-olah dengan komitmen. Hasilnya, hampir 30 persen peserta dapat mengurangi 70 persen kiriman ke TPA. Bahkan, sebanyak 13 persennya bisa mengurangi sampah hingga 80-90 persen.
Kemudian lahirlah inisiatif dan jejaring baru setelah kelas zero waste seperti Akademi Minim Sampah Malang, Pekanbaru Minim Sampah, Guritan Pacitan, Sobung Sarka, Komunitas Anak Cinta Bumi Jogja, dan lainya yang diiniasiasi para alumni kelas belajarzerowaste. Spirit edukasi sampahku tanggungku yang menjadi diusung kelas BZW, menyebar ke berbagai kota dan daerah di penjuru Indonesia.
Dini menyadari bahwa istilah 3R (Reduce, Refus, Recycle) dan 5R (Refuse, Reduce, Refus, Recycle, Rot) cukup sulit dicerna masyarakat awam. Sehingga ia pun menyederhanakan menjadi Cegah, Pilah, Olah. Terbukti istilah ini mudah diingat dan diterapkan.
Dini pun menerbitkan buku Menuju Rumah Minim Sampah. Ini adalah salah satu bentuk keterbatasanya akan membuka kelas yang banyak. Akhirnya, modul pelajaran itu ia buat dalam sebuah buku agar peserta dapat mengamati dan mengilhami eksperiman cegah-pilah-olah secara mandiri.
Apakah kita bisa belajar dan mengurus sampah sendiri ? Dini meyakini bahwa berjejaring adalah hal yang sangat penting. Ia yakin dari hal itu akan menularkan ide meminimalkan sampah sisa konsumsi yang kita gunakan.
Minim sampah berarti menjadi realistis, demikian menurut Dini. Kita perlu melihat kondisi kultur lingkungan kita. Jujur dan mengaudit sampah diri sendiri adalah hal yang bisa dilakukan selama seminggu sekali, pesannya.
Coba untuk tidak mengeluarkan sampah, lihat apa saja yang kita konsumsi setiap harinya. Dari situ kita bisa menetapkan tujuan pencapaian pribadi untuk memilah konsumsi kita.
Dini mengungkapkan bahwa mengajak orang terdekat tampaknya lebih sulit daripada mengajak orang yang jauh. Menurutnya, mulailah dari lingkaran yang bisa dipengaruhi terlebih dahulu.
"Saya memilih fokus mana yang saya bisa lakukan. Masing-masing kita punya lingkaran pengaruh. Lingkaran ini saya pilih yang mana bisa saya sentuh. Kalau yang ini belum bisa saya gamau mandek. Saya mulai dari share di grup ibu-ibu PKK tentang recycling. Kalau ada produknya kan mereka senang," ucap Dini.
Dini memiliki pengalaman berjejaring. Dari pengalaman inilah dia yakin bahwa sekecil apapun usaha yang dilakukan bersama-sama akan berpengaruh pada lingkungan yang lebih baik. Selain itu, peran perempuan sangatlah berpengaruh dalam peran hal ini.
"Bumi tidak membutuhkan perempuan yang sempurna tapi menghargai mereka yang mau berusaha," ungkap Dini sebagai pemungkas.
Gita menutup diskusi daring ini dengan epilog. Dia mengajak audiens untuk merenungkan pemaparan Dini tentang sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga itu terbesar, ungkapnya. Porsinya mencapai 45 persen. Setiap orang bisa menyumbang 0,3 sampai 0,5 kilogram.
Dia mengajak audiens untuk membayangkan, berapa banyak sampah yang terkumpul di seluruh Indonesia. Artinya, penting sekali untuk memulainya dari diri sendiri dan dari rumah kita masing-masing.
"Mbak Dini memiliki caranya dengan cegah, pilah, olah," ungkap Gita. "Dia juga mengajak orang lain untuk menjadi agen perubahan dengan menulis buku kemudian berbagi ilmu melalui kelas belajar zero waste."
Selain menampilkan Dian Kusuma Wardhani, bincang daring itu juga mengajak lima perempuan inspiratif lainnya: Sisca Nirmala, Ranitya Nurlita, Maurilla Imron, Switenia Puspa Lestari, dan Eva Bachtiar. Simak seri profil dan gagasan mereka di laman National Geographic Indonesia.
Source | : | Inspirasi Perempuan Untuk Perubahan Lingkungan |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR