Dalam sebuah pernyataan di Facebooknya, Chailert mendeskripsikan bahwa krisis yang terjadi saat ini merupakan hal terberat dalam kariernya. Jumlah gajah di ENP meningkat dari 84 ke 90 dalam waktu seminggu karena para pemilik gajah tidak bisa lagi merawatnya.
"Jika tidak ada bantuan untuk menjaga mereka tetap aman, gajah-gajah ini (beberapa di antaranya sedang hamil), akan mati kelaparan atau mungkin dibawa ke jalan untuk mengemis," kata Chailert dalam sebuah pernyataan.
Ia menambahkan, gajah lain mungkin akan dijual ke kebun binatang atau bahkan kembali ke bisnis penebangan kayu—praktik yang secara resmi dilarang pada tahun 1989.
“Ini sangat suram, kecuali bantuan keuangan dapat diterima secepatnya,” kata Chailert.
Baca Juga: Semakin Sering Manusia Menebang Hutan, Semakin Besar Risiko Munculnya Penyakit Baru
Wise mengatakan, situasi tambah buruk dengan cuaca Thailand yang akan memasuki periode terpanas dan terkeringnya.
“Pada beberapa area, pasokan dedaunan alami hutan akan benar-benar habis. Tanpa pemasukan untuk sumber makanan tambahan, gajah tidak bisa merumput atau mencari makan sendiri untuk memenuhi kesejahteraan fisik dan psikologis mereka,” paparnya.
Meski begitu, Chailert berharap akan ada hikmah di tengah krisis ini: "Seringkali hal-hal terlihat sangat buruk, tetapi saya berpikir bahwa krisis ini adalah peluang besar untuk mengubah kehidupan gajah tawanan," tulisnya di Facebook.
"Mari kita bersama-sama menciptakan masa depan yang indah untuk mereka," pungkas Chailert.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Source | : | Newsweek |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR