Nationalgeographic.co.id – Karantina wilayah akibat pandemi COVID-19 mengancam kehidupan populasi gajah di penangkaran Thailand.
Karantina wilayah yang diberlakukan pemerintah sejak 9 Maret lalu telah melarang pengunjung asing memasuki negara tersebut. Hal ini pun berdampak pada industri pariwisata Thailand. Dan ketika sumber pendapatan tempat tinggal gajah-gajah tersebut berkurang, maka mereka berisiko kelaparan dan kekurangan gizi.
“Sama seperti kamp-kamp lainnya, kami tidak memiliki pendapatan,” uajar Colin Penberthy, juru bicara Maesa Elephant Camp, dikutip dari Newsweek.
“Pengeluaran kami lebih dari 5 juta baht (Rp2,3 miliar) per bulan. Anda dapat melihat betapa seriusnya masalah ini bagi kami. Ya, kami memiliki cadangan uang yang dapat digunakan, tapi itu sangat terbatas,” paparnya.
Baca Juga: Lagi, Dua Kucing Peliharaan Positif Terjangkit COVID-19
Menurut World Animal Protection (WAP), sekitar 85 penangkaran di utara Thailand harus memberhentikan staf mereka dan menutup operasionalnya. Mereka yang masih bekerja, mengumpulkan rumput liar dan makanan ternak untuk dimakan hewan-hewan di sana.
WAP memperkirakan, sekitar 2.500 gajah akan terdampak. Mereka biasanya membutuhkan 880 pound rumput, ranting pohon, dan tanaman lainnya dalam sehari.
Katheryn Wise, Wildlife Campaing Manager WAP, mengungkapkan, perlu biaya sekitar 118 dollar AS atau sekitar Rp1,8 juta untuk memberi makan satu gajah dalam seminggu. Namun, angka tersebut belum termasuk biaya perawatan hewan.
“Tanpa bantuan segera, gajah-gajah di penangkaran ini terancam kekurangan gizi dan bisa mati kelaparan,” kata Wise.
Ia menambahkan, penurunan pada industri pariwisata semakin memperparah penderitaan gajah. “Banyak gajah dikembalikan ke pemilik asalnya dan sulit melacak kondisi di sana. Namun, kami sedang berusaha menyediakan penampungan cadangan untuk merawat gajah sebaik mungkin,” jelas Wise.
Di sisi lain, Lek Chailert, pendiri Elephant Nature Park (ENP)—sebuah penangkaran gajah di Provinsi Chiang Mai—menyatakan bahwa pandemi ini meningkatkan jumlah gajah yang dikirim ke sana.
Dalam sebuah pernyataan di Facebooknya, Chailert mendeskripsikan bahwa krisis yang terjadi saat ini merupakan hal terberat dalam kariernya. Jumlah gajah di ENP meningkat dari 84 ke 90 dalam waktu seminggu karena para pemilik gajah tidak bisa lagi merawatnya.
"Jika tidak ada bantuan untuk menjaga mereka tetap aman, gajah-gajah ini (beberapa di antaranya sedang hamil), akan mati kelaparan atau mungkin dibawa ke jalan untuk mengemis," kata Chailert dalam sebuah pernyataan.
Ia menambahkan, gajah lain mungkin akan dijual ke kebun binatang atau bahkan kembali ke bisnis penebangan kayu—praktik yang secara resmi dilarang pada tahun 1989.
“Ini sangat suram, kecuali bantuan keuangan dapat diterima secepatnya,” kata Chailert.
Baca Juga: Semakin Sering Manusia Menebang Hutan, Semakin Besar Risiko Munculnya Penyakit Baru
Wise mengatakan, situasi tambah buruk dengan cuaca Thailand yang akan memasuki periode terpanas dan terkeringnya.
“Pada beberapa area, pasokan dedaunan alami hutan akan benar-benar habis. Tanpa pemasukan untuk sumber makanan tambahan, gajah tidak bisa merumput atau mencari makan sendiri untuk memenuhi kesejahteraan fisik dan psikologis mereka,” paparnya.
Meski begitu, Chailert berharap akan ada hikmah di tengah krisis ini: "Seringkali hal-hal terlihat sangat buruk, tetapi saya berpikir bahwa krisis ini adalah peluang besar untuk mengubah kehidupan gajah tawanan," tulisnya di Facebook.
"Mari kita bersama-sama menciptakan masa depan yang indah untuk mereka," pungkas Chailert.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Source | : | Newsweek |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR