Nationalgeographic.co.id—Julukannya, Corong Candu di Pesisir Jawa. Lasem kian menyimpan kepedihan bak pecinan yang kesepian karena ditinggal generasi penerusnya. Ia pun kian tampak suram dan tak bergairah semenjak berjangkitnya pagebluk maut.
Pecinan lawas yang dibelah Jalan Raya Pos ini semakin menua dalam kekiniannya. Di balik kemuraman Lasem, lanskapnya masih memiliki ruang-ruang tengara kota yang memesona. Sederet arsitektur Cina-Hindianya menyimpan teladan budaya yang menjadi persemayaman jiwa kotanya.
Pecinan ini pernah menjadi tempat pendaratan penyelundupan candu terbesar di Pulau Jawa. Perdagangan candu di sepanjang pesisir Jawa sejatinya telah dilakukan oleh orang Cina sejak abad ke-17. Tingginya keuntungan dan perputaran uang di jalur candu di Juwana dan Lasem mengakibatkan maraknya penyelundupan candu. Itulah mengapa dia dijuluki "Corong Candu".
Baca Juga: Pasar Rakyat Lasem Daring: Kami Memilih Menyalakan Lilin Kecil
Setelah zaman keemasan candu berakhir, pecinan ini kembali berdenyut karena rumah-rumah batiknya. Namun, tradisi yang mengalir seratusan tahun itu seolah tercekat karena pagebluk. Para pelancong yang kerap singgah dan mengoleksi batik turut lenyap. Rumah-rumah batik pun tengkurap.
Bagaimana pola keruangan Pecinan Lasem menjaga jiwa kota bagi penghuninya? Bagaimana kabar terakhir para pembatiknya? Apa yang mereka upayakan untuk menyiasati masa pagebluk yang seolah tak berkesudahan ini?
Mari bersama kami menitipkan rindu untuk Si Corong Candu dalam #BerbagiCerita. Siapa hendak turut? Silakan mendaftar via pranala bit.ly/berbagicerita-1 untuk menyimak kisah inspiratif para pembatiknya.
Semoga kita tidak sedang menikmati keindahan pecinan di kaki pelangi.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR