Nationalgeographic.co.id - National Geographic Indonesia dan Saya Pejalan Bijak, menyelenggarakan avontur daring #JelajahdariRumah pada Minggu, 21 Juni silam. Demi menuntaskan akhir pekan bersama, kami mengajak peserta untuk berkunjung ke Surakarta dan menapaki tilas Mangkunegara.
Alfonsus Aditya, penikmat budaya, memandu peserta avontur daring. Dia mengajak untuk mengenali jejak-jejak Mangkunegara—bagaimana wangsa ini turut memberikan sumbangsih bagi peradaban. Selain itu, kita juga dapat menyaksikan kisah-kisah hidup warganya. Bermula dari Stasiun Balapan, berikut rute yang kami tempuh:
Stasiun Solo Balapan
Tempat pertama yang dikunjungi adalah Stasiun Solo Balapan atau yang terkenal dengan nama Het Centraal Station van Soerakarta saat zaman penjajahan Belanda. Ditemani oleh pemandu wisata lokal, Agung, Adit mengajak peserta virtual tour untuk melihat bangunan bersejarah ini melalui sebuah video.
“Atap tiga susun menjadi ciri khas Stasiun Balapan. Unsur Jawa-nya tidak bisa dilepaskan meski didesain pada era Belanda,” jelas Agung dalam video sambil menunjukkan bagian atas bangunan Stasiun Solo Balapan.
Ia memaparkan, stasiun ini dulunya merupakan alun-alun milik Mangkunegara, di mana terdapat sebuah pacuan kuda. Balapan yang identik dengan pacuan kuda pun akhirnya disematkan pada nama stasiun.
Wilayah pembangunan stasiun ini menggunakan lahan milik Mangkunegara. Pembangunannya melalui dua tahapan penting yaitu pada era Mangkunegara IV pada sisi Selatan stasiun yang dimulai pada tahun 1864 dan diresmikan pada tahun 1870. Kemudian, pada era Mangkunegara VII, Stasiun Solo Balapan direvitalitasi, tapi tetap mempertahankan kekhasan bangunannya. Mangkunegara VII mengundang Thomas Kaarsten, arsitek ternama kala itu yang juga sahabatnya, untuk melakukan pembangunan tahap dua pada sisi utara stasiun.
Jejak Solosche Radio Vereniging (SRV)
Raja Mangkunegara VII dikenal cerdas pada zamannya. Ia juga merupakan penikmat budaya yang luar biasa. Adit bercerita, Mangkunegara VII menganggap budaya Jawa merupakan adiluhung. Ia ingin budaya Jawa tidak dianggap remeh.
“Saat diundang ke Kerajaan Belanda, ia pun mengajak anaknya untuk menampilkan tarian Jawa,” katanya.
Keseriusan Mangkunegara VII untuk melestarikan budaya Jawa, membuatnya membentuk Java Insitituut. Ini kemudian menjadi cikal balak berdirinya Solosche Radio Vereninging (SRV). Radio ini tumbuh untuk menyebarkan pesan budaya Kepada masyarakat dengan pemutaran alunan musik-musik Jawa. Tidak hanya sampai disitu, radio ini pun berkembang pesat di seantero Nusantara dengan jumlah anggota kurang lebih 4.000 orang.
Gedung SRV kini menjadi Radio Republik Indonesia (RRI).
Pasar Legi dan Masyarakatnya
Perjalanan selanjutnya, peserta diajak mengunjungi dan menyusuri lorong-lorong Pasar Legi—bertemu dengan beberapa penjual di sana. Dari video, kita bisa melihat bagaimana aktivitas di pasar.
“Bisa dibilang, Pasar Legi tidak pernah tidur. Datang jam berapa pun, selalu ada kegiatan,” kata Adit.
Meskipun Pasar Legi sudah rata dengan tanah karena kebakaran pada 2019 lalu, tapi para penjual tidak meninggalkan area tersebut. Mereka tetap berjualan di pinngir pasar. “Meski tidak ada bangunan, tapi semangatnya tetap terjaga,” imbuh Adit.
Agung, sang pemandu wisata pun menceritakan sejarah Pasar Legi yang tidak dapat dilepaskan oleh tradisi dan hitung-hitungan Jawa. Pasar ini awalnya hanya dibuka pada tanggalan Jawa yaitu Legi. Namun, dalam perkembangannya, ia menjadi wajah kehidupan 24 jam kota Surakarta.
Pasar ini hadir seiring berdirinya tahta Mangkunegaran. Mangkunegara I adalah raja yang mendirikan pasar ini.
“Didirikan pada era Mangkunegara I, kemudian berkembang. Kepemimpinan Mangkunegara 4 mulai dibangun dengan beton dan kemudian diperbaiki lagi di era Mangkunegara 7,” ungkap Agung.
Adit dan Agung melanjutkan perjalanan sambil berbincang dengan beberapa penjual yang sudah menempati pasar sejak 25 hingga 50 tahun lalu.
Menurut Adit, pasar adalah gambaran terbaik untuk berkenalan pada suatu kota yang kita kunjungi. Mencoba meresapi semangat, rasa syukur, dan ketekunan dari setiap pedagang yang ada di dalamnya.
“Saya selalu senang ke pasar, makanya saya mengajak sahabat ke sini,” ungkapnya.
Ponten
Nama Ponten berasal dari bahasa Belanda “Fontein” yang berarti air mancur. Bangunan ini merupakan sebuah pancuran atau tempat pemandian umum di tengah kota Surakarta.
Ponten dibangun pada masa Mangkunegara VII dan dirancang oleh Thomas Karsten. “Arsitektur Ponten bergaya Indische, tapi tetap ada unsur Jawa seperti bentuk candi. Jadi, bangunannya gabungan arsitektur Jawa-Eropa,” kata Agung.
Mendapat pendidikan di Eropa dan tinggal di sana selama bertahun-tahun memengaruhi jalan pikiran Mangkunegara VII. Ia melihat bagaimana Belanda dan Prancis menjaga kebersihan dan kesehatan warganya. Hal inilah yang membuat Mangkunegara VII akhirnya membangun Ponten.
Raja juga membangun MCK di setiap kampung untuk menjaga kebersihan warga dan bahkan mengharuskan menjemur bantal, guling, dan tikar pada setiap Hari Rabu.
Rumah Awal Mangkunegara
Setelah berjalan kaki di beberapa tempat, saatnya kita ‘berisitirahat’ di sebuah rumah bersejarah. Tempat yang dikunjungi selanjutnya merupakan rumah awal Raden Mas Said yang bergelar Mangkunegara I.
Disambut oleh Mintorogo, sang pemilik rumah saat ini yang merupakan turunan trah Mangkunegara I, peserta diajak melihat ruangan-ruangan yang ada di dalamnya.
Kondisi rumah masih sangat terjaga dan kayu-kayu yang digunakan masih orsinil--belum ada penggantian sama sekali. Hanya ada satu tiang penyangga plafon saja yang sudah diganti. Kayu jati yang digunakan pun berasal dari hutan Donoloyo milik Kasunanan Surakarta yang sangat terkenal sebagai penghasil kayu jati terbaik di Tanah Jawa.
Legion de Mangkunegaran
Tak jauh dari rumah awal Mangkunegara, peserta diajak berjalan ke kompleks Pura Mangkunegaran. Di dalamnya, kita akan melihat bangunan yang dulunya digunakan sebagai militer. Bangunan ini merupakan saksi bisu dari sebuah Legiun yang dimiliki oleh Mangkunegara.
Adit bercerita, legiun Mangkunegaran ini dididik dan dilatih secara profesional—melibatkan tiga negara yaitu Perancis, Inggris, dan Belanda. Legiun yang didirikan oleh Mangkunegaran II ini bertepatan dengan tibanya Gubernur Jenderal Deandels di Batavia yang merupakan perpanjangan tangan kekaisaran Napoleon.
Dari beberapa sumber disebutkan bahwa para prajurit yang tergabung dalam Legiun ini sangatlah bangga menyebut diri mereka sebagai “Fusi” atau singkatan dari Fusilier atau pasukan infantri. Meniru gaya pasukan Grand Armee Napoleon Bonaparte, pasukan ini pun telah terjun di beberapa medan laga pertempuran dan Legiun ini pun secara resmi dibubarkan oleh Mangkunegara VIII dan menyatakan diri bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain melihat bangunan militernya, peserta juga diajak melihat rumah0rumah di sekitarnya yang menjadi tempat tinggal para keturuan prajurit Semut Ireng yang merupakan pasukan legiun,
Cerita di Balik Istana
Tempat terakhir yang dikunjungi dari tur virtual jejak Mangkunegara ini adalah istana. Namun, tidak hanya mengunjungi bangunan, peserta pun bisa melihat dan mendengar cerita langsung dari para abdi dalem.
Ada Mbah Wasinem yang telah mengabdi selama 66 tahun. Dalam bahasa Jawa, Mbah Wasinem bercerita bahwa ia mengalami masa transisi dari Mangkunegara VIII ke Mangkunegara IX. Selama mengabdi, ia bertugas merawat pangeran-pangeran dan menyiapkan sesaji berupa bunga di atas cawan berisi air yang diletakkan di tempat-tempat khusus di Istana.
Selain Mbah Wasinem, kita juga diajak bertemu dengan Mbah Ngadimin, abdi dalem yang bertugas menjaga area parkir dan membersihkan bagian luar Pura Mangkunegara. Memasuki usia 80 tahun, Mbah Ngadimin telah mengabdi selama 44 tahun di Istana.
“Tidak selamanya Istana harus tentang raja atau permaisuri. Dengan mengenal kedua sosok ini, kita dapat mengambil pelajaran untuk selalu jujur dan ikhlas dalam bekerja,” tutur Adit.
Setelah berjumpa dengan kedua abdi dalem tadi, perjalanan dilanjutkan untuk melihat-lihat bagian dalam kompleks Mangkunegaran. Di sana, kita bisa melihat beberapa keindahan istana termasuk pendopo terbesar di Indonesia.
Di dalam pendopo tersebut juga tersimpan satu set gamelan yang berusia kurang lebih 300 tahun. Gamelan tersebut digunakan pada saat mengiringi misi budaya Mangkunegara VII di Belanda.
Acara virtual tour #JelajahDariRumah Mengenal Jejak-Jejak Mangkunegara merupakan program donasi untuk membantu para pemandu wisata lokal yang kehilangan pendapatannya sehari-hari akibat pagebluk COVID-19.
Acara ini dihadiri sebanyak 140 peserta dan berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp3.685.000. Terima kasih kepada Sahabat yang telah berpartisipasi dan sampai bertemu di avontur daring selanjutnya.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR