“Bicara Papua berarti bicara kepedulian saudara-saudara di Papua untuk mendorong kemajuan kampung dan kelestarian ekosistem. Kebudayaan merupakan factor penting dalam pembangunan untuk kemanusiaan. Maka pelestarian lahan gambut tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan lokal sebagai basis dari pembangunan di Papua,” ungkap Myrna mengawali diskusi.
Dari tanah Papua, perwakilan masyarakat adat Papua juga hadir, diwakili oleh Suku Marind, yakni Timotius Balagaize sebagai Kepala Kampung Kaliki, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke. Timotius menyampaikan pembelajaran Suku Marind dalam menjaga dan merestorasi gambut.
“Masyarakat adat Marind sudah lama hidup di ekosistem gambut, sumber penghidupan ada di ekosistem gambut. Namun saat ini terdapat beberapa persoalan model pembangunan ekstraktif dan belum melihat komunitas adat sebagai subyek. Pembelajaran kampung peduli gambut menjadi contoh menarik tentang peran masyarakat adat terlibat aktif dalam merancang wilayah adat yang berkarakteristik ekosistem gambut, sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem gambut,” ungkap Timotius.
Hampir seluruh lanskap Kampung Kaliki dikelola oleh Suku Marind dengan kearifan lokal. lahan gambut terdiri dari Om berarti rawa gambut dalam, oggnab berarti rawa gambut dangkal, dan watar berarti rawa gambut terapung. Kebakaran hutan yang terjadi setiap tahunnya dan praktik pembakaran menjadi tantangan masyarakat di lahan gambut.
“Rawa gambut masih belum banyak potensi, masyarakat pun masih belum memiliki pengetahuan banyak untuk mengelola ini untuk masa depan. Tantangan ini kami hadapi dengan pemetaan wilayah. Hasilnya, walaupun dengan di tengah kondisi pandemi, bersama BRG dan mitra kami melakukan penanaman sagu dan padi lokal di rawa gambut sebagai sumber pangan lokal,” kisahnya.
Untuk memastikan keberlanjutan pelestarian lanskap gambut di Papua, perwakilan kemitraan, Yesaya Hardyanto selaku Project Manager DPG di Kemitraan, mengangkat pentingnya penguatan inisiatif lokal bagi pemerintah kampung.
“Di Papua bagian selatan, khususnya di Kabupaten Merauke dan Mappi penguatan proses pelembagaan tata kelola kampung yang diamanatkan oleh UU Desa No 6/2014 diintrodusir dengan mengadaptasi pendekatan kultural dan adat berbasis kolektivisme marga baik di kampung asli maupun transmigran dalam mendorong isu-isu pengelolaan sumberdaya alam (perlindungan dusun sagu dan kawasan hutan sebagai bagian dari ruang hidup masyarakat, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pengelolaan tata air serta penguatan sumber penghidupan lokal berbasis lahan gambut/rawa dalam proses perencanaan kampung_dan perancangan peraturan kampung dengan nuansa kearifan lokal/sanksi adat,” ungkap Yesaya.
Baca Juga: Aksi Pembersihan Laut Terbesar Berhasil Kumpulkan 100 Ton Sampah Plastik
Untuk menyempurnakan diskusi, perwakilan mitra Program DPG Papua, PtPPMA (Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat), Naomi Marasian juga menambahkan, penyusunan perencanaan lanskap gambut pemerintah kampung di wilayah adat Suku Yaqay, terutama pemetaan, menjadi kunci utala alat pengorganisasian wilayah adat.
“Karena kedekatan masyarakat adat dengan lanskap ekosistem gambut terlihat dari beragam diksi yang komunitas gunakan dalam melihat dan memanfaatkan ekosistem gambut, proses-proses pembangunan perlu menempatkan komunitas adat sebagai ruang dialog yang aktif, semua masyarakat perlu memahami proses dan mekanisme perencanaan kampung sesuai kebutuhan komunal di lanskap ekosistem gambut.
Proses pembelajaran yang dilakukan adalah masyarakat membuat keputusan untuk bersepakat menjaga wilayah mereka, beberapa cerita di Merauke dibagi ke Mappi untuk kembali duduk Bersama menjaga ekosistem gambut,” kata Naomi.
Semoga pembelajaran pelestarian lingkungan dan penguatan tata kelola daerah di Papua, dapat mendorong inisiatif dan menjadi rekomendasi bagi pemerintah daerah lain di Indonesia. “Perubahan positif di tengah masyarakat harus dilakukan dengan cara sukarela. Maka dari itu, kejujuran menjadi kunci setiap pihak yang bekerja di Papua,” ungkap Myrna sekaligus menutup diskusi ini.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR