Nationalgeographic.co.id—Tampak patung angsa putih berkaki dan berparuh kuning. Ia yang tengah mengepakkan sayapnya dalam naungan nuansa flora nan menghijau. Patung angsa itu menghias di atas pintu rumah berlantai empat. Rumah itu mengadopsi gaya Prancis dengan balkonnya yang anggun. Sebuah tulisan warna emas tercetak tebal menandai usianya “Anno 1698”. Inilah La Maison du Cygne atau Rumah Angsa yang sohor itu di kawasan Grand Place.
Dalam mitologi Romawi, angsa kerap dikaitkan dengan kecantikan Aphrodite. Selain itu juga kerap dikaitkan dengan Apollo—dewa puisi, ramalan, dan musik. Simbol ini diyakini melambangkan kesempurnaan, keindahan, dan keanggunan.
Sejatinya, sejak abad ke-15 rumah ini digunakan sebagai penginapan. Rumah ini pernah rusak berat selama pemboman kota oleh pasukan Prancis pada Agustus 1695. La Maison du Cygne dibangun kembali oleh pemodal Pierre Fariseau. Dia mempekerjakan pemahat arsitek asal Brussel, Corneille van Nerven pada 1698. Itulah sebabnya ada tulisan "Anno 1698" di lantai duanya.
Pada abad ke-18, rumah ini dibeli oleh perusahaan jagal. Sekitar 1720, bagian atasnya mengalami perubahan wajah hingga tampak seperti hari ini. Rumah itu mengalami perubahan dan perbaikan lagi pada 1897, dan arsitek Adolphe Samyn memberi sentuhannya pada 1904.
Baca Juga: Di Balik Kitab Suci Kaum Komunis: Inspirasi Jawa untuk Karl Marx
Banyak orang menikmati es krim atau wafel sambil duduk di bangku depan Rumah Angsa itu, yang sejak 1959 menjelma restoran. Barangkali sedikit orang yang tahu, Karl Marx dan Friedrich Engels, filsuf Jerman itu pernah berada di rumah itu selama pertemuan bersama serikat kerja Jerman pada 1847.
Pada 1847 Marx mendirikan asosiasi pekerja Jerman di Brussel, "Deutscher Arbeiterverein". Dia juga terpilih sebagai Wakil Presiden dari "Asosiasi Demokratis", sebuah organisasi yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak pekerja dan untuk sosialisme. Marx juga merayakan Malam Tahun Baru 1847/1848 di "De Swaene" bersama mereka. Di Brusel pula Marx menulis buku Manifest der Kommunistischen Partei yang kelak menjadi ideologi yang sangat berpengaruh di dunia.
Baca Juga: Bung Hatta: Stalin Memarahi Semaoen Karena Konvensi Nasionalis
Selama dua tahun di Brussel, Marx mengembangkan pemikirannya. Serangkaian debat dengan para pemimpin utama gerakan kelas pekerja, tampaknya telah membangun kedudukan intelektualnya. Marx bersikeras bahwa panggung masyarakat borjuis merupakan penghalang. Proletariat tidak bisa begitu saja melompat ke dalam komunisme, dan oleh karena itu gerakan buruh membutuhkan dasar ilmiah, bukan sakadar frase moralistik.
La Maison du Cygne hanya beberapa langkah dari Hotel de Ville yang merupakan bangunan tertinggi di kawasan Grand Place. Hotel de Ville dihiasi puluhan patung berbagai karakter yang merujuk pada tokoh bangsawan, orang suci, dan tokoh alegori. Menara segi delapannya setinggi hampir seratus meter.
Baca Juga: Bagaimana Komunisme dan Sosialisme Menjadi Hal yang Berbeda?
Konon, kawasan Grand Place merupakan ruang publik terindah di seantero Eropa. Warga dapat menikmati lapangan kota dan indahnya arsitektur gedung-gedung yang pada awalnya dibangun pada abad ke-15.
Grand Place menjalani pembangunan kembali dan upaya konservasi yang spektakuler. Kawasan ini begitu memiliki kekayaan ornamen dan koherensi arsitektur. Sejak 1998, UNESCO menahbiskannya sebagai situs warisan dunia. Salah satunya, La Maison du Cygne.
Marx pernah berkata, “Kaum proletar tidak memiliki beban kecuali pada rantai yang membelenggu mereka. Mereka memiliki dunia untuk dimenangkan. Pekerja dari semua negara, bersatulah!”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR