Jalan raya nasional India yang baru, yang sebagian terdiri dari campuran batu dan aspal, sebagian lagi batu bata kuning, memotong Bangalore dan melintasi selatan India, membawa bersamanya harapan besar satu milyar orang dari Laut Arab hingga Teluk Bengala. Di pusat kota Bangalore roda-roda kendaraan berhenti sesaat, di sebelah kuil Hindu setinggi 15 meter yang penuh dengan hiasan, tempat di mana setiap malamnya seorang lelaki kecil berpembawaan riang dan berkacamata tanduk bernama R. L. Deekshith, imam sang kuil, memberikan pelayanan agama Hindu di pinggir jalan. Keahliannya adalah sebuah ritual bernama puja, yang dilakukannya dengan menyebarkan keagungan dewa Ganesha di hadapan parade kendaraan yang baru saja dibeli—mobil, truk, SUV, sepeda motor, dan becak motor, terkadang bersamaan dengan sepeda atau gerobak sapi—pemilik-pemiliknya tidak akan pernah berpikir untuk melaju di jalan tanpa mendapatkan restu dari dewa riang bertangan empat dengan kepala seekor gajah yang membawa kemakmuran dan nasib baik, khususnya bagi mesin dan mereka yang bepergian dengan menaiki sesuatu yang baru.
!break!
Menaka Shekaran, seorang akuntan berusia 23 tahun yang bekerja pada perusahaan yang mengimpor peralatan olahraga, tengah menunggu Tuan Deekshith melaksanakan ritual puja bagi motor skuter peraknya, yang baru dibelinya sore ini. Dengan mata yang cerdas dan tubuh ramping, Menaka mengenakan pakaian yang juga dipakai oleh ribuan wanita muda India lainnya yang berkendaraan sepeda motor—jins karya desainer, jubah berwarna cerah, sepatu hak hitam, dan selendang putih di kepalanya yang dipasang untuk menutupi hidung dan mulutnya.
Ketika sang imam tengah menjalankan ritualnya pada antrian panjang kendaraan bermotor, Dhana, kakak laki-laki Menaka membakar sebuah kelapa, mengelilingi motor skuter sebanyak tiga kali dengan kulit kelapa yang berasap, sebelum menghancurkannya hingga berkeping-keping di atas trotoar di depan skuter. Ia meletakkan sebutir lemon di bawah ban depannya, yang harus dilindas oleh Menaka ketika ia mengendarai motornya, sebuah awal yang dianggap membawa keberuntungan.
”Apakah kau memiliki surat izin mengemudi?” tanyaku padanya.
”Tidak, Tuan, tidak,” tawanya cekikikan. Pada saat yang bersamaan Tuan Deekshith muncul dan mengalungkan karangan bunga kuning pada pegangan tangan skuter. Ia memercikkan air suci dari kuil Dewa Ganesha di atas sepeda tersebut seraya mengucapkan mantra dari Wedha-Wedha Hindu, dan mengakhirinya dengan melemparkan butiran kumkum merah, sejenis ekstrak temulawak, di bagian depan skuter dan menorehkannya sedikit pada dahi Menaka.
Sebagai bentuk terimakasih, Menaka memberikannya hadiah sekantong pisang dan bubuk temulawak. Lalu ia menyalakan mesin dan memanaskannya. Sesaat ia tampak kebingungan
dengan alat pengendalinya (Yang mana lagikah katup ceratnya? Yang mana remnya?) dan berusaha keras mempertahankan sepeda motornya untuk berdiri tegak setelah ia mendorongnya maju dan melepaskannya dari standar, melindas lemon diiringi sambutan riuh dari Dhana dan orang-orang di sekitarnya. Permulaan yang membawa keberuntungan, namun nampaknya ia akan terjungkal di tengah lalu-lintas yang melaju tidak jauh darinya. Dengan sigap kuraih pegangan motor.
!break!
”Apakah kau memiliki helm?” teriakku di atas suara mesin yang merepet. Ia menggelengkan kepala sambil meringis.
”Apakah kau tahu cara mengendarai motor?”
”Tidak, Tuan, tidak terlalu bisa,” teriaknya riang, ”namun aku berencana untuk belajar!”
Dengan begitu, ia tersendat maju, menggesek ban bersama Dhana yang melaju bersamanya dan hampir terserempet mobil yang lewat. Ia mempercepat lajunya dan menyatu dengan kegilaan lalu-lintas malam di Bangalore dengan hanya berbekal perlindungan dari Dewa Ganesha. Ketika ia melewati cahaya lampu jalanan di kejauhan, dapat kulihat ujung kepalanya naik turun mengikuti arus deras India abad ke-21, salah satu pusat keramaian di tengah arus yang senantiasa bergerak.
Jalanan yang terentang di bawah roda-roda Menaka merupakan salah satu bagian dari Segi Empat Emas (SEE), jalur cepat teranyar sepanjang 5.846 kilometer yang menghubungkan pusat-pusat populasi negara tersebut di Delhi, Mumbai, Chennai, dan Kalkuta. Pembangunannya merupakan bagian dari proyek infrastuktur publik terbesar dan paling ambisius dalam sejarah negeri tersebut, yang bertujuan untuk menggerakkan perkembangan sosial masyarakatnya: Mirip dengan sistem jalan raya antar negara bagian di A.S. yang berhasil memobilisasi masyarakat Amerika serta mengembangkan perekonomian pasca perang, India berharap Segi Empat Emasnya dapat mendorong mesin perekonomian negaranya mencapai titik tertinggi menularkan hasil positif pembangunan dari kawasan metropolisnya yang menjamur hingga desa-desa miskin, di mana lebih dari setengah populasinya bermukim.
Diumumkan pada tahun 1998 oleh Perdana Menteri pada masa tersebut, Atal B. Vajpayee, yang memegang andil dalam memberikan nama besar proyek tersebut, skala proyek Segi Empat Emas hanya berhasil dikalahkan oleh sistem rel kereta api nasional yang dibangun Inggris para tahun 1850an. Selama beberapa dekade setelah kemerdekaannya pada tahun 1947, India menjalankan sejenis sosialisme Asia Selatan, mengikuti idealisme pendirinya, Gandhi dan Nehru, dan pada akhirnya perekonomian mereka pun tersendat.
!break!
Pada tahun 1990an negara tersebut mulai membuka pasarnya terhadap investasi asing, dipimpin oleh pemerintah pro-pembangunan dan didukung sepasukan pengusaha muda yang mampu berbahasa Inggris dengan baik serta berpenghasilan jauh lebih kecil dibandingkan standar di Barat. Namun para pemimpin India menyadari bahwa jalan-jalan raya mereka yang usang dapat menghambat negara dalam upaya mencapai modernisasi. ”Jalan-jalan kami tidak memiliki beberapa lubang,” keluh Perdana Menteri Vajpayee meminta pertolongan pada pertengahan 1990an. ”Lubang-lubang kami memiliki beberapa jalan.”
Sepuluh tahun setelah pengumuman Vajpayee, SEE merupakan salah satu sistem jalan raya yang paling rumit di dunia, sebuah karya cipta teknologi tingkat yang, dari berbagai sudut pandang, merupakan jalan keluar untuk mempromosikan India pada investor asing di abad ke-21. Dalam tampilannya pada monitor komputer layar datar ukuran 48 inci di kantor pusat administrasi jalan raya di Delhi, SEE terlihat cantik seperti kapsul ruang angkasa. Para desainernya mendeskripsikan SEE sebagai ”kumpulan poin data yang elegan,” atau ”mesin modern” yang bersinar, sebuah ban berjalan berteknologi maju yang menggerakkan barang dan manusia ke sekeliling India dengan ketepatan yang akurat.
Mudah bagi siapapun untuk terjebak dalam antusiasme mereka terhadap sebuah sistem yang begitu maju secara teknologi, yang memungkinkan apabila suatu hari sebuah retakan di trotoar dapat dideteksi oleh sensor sehingga petugas pemeliharaan dapat segera dikirimkan; pemasukan tol dapat dikomputerisasi dan secara instan ditabulasikan dalam proyeksi jangka panjang; dan peristiwa kecelakaan akan memicu respon cepat dari tim gawat darurat terdekat. Tidak dapat dipungkiri bahwa jalan raya dan pembangunan yang ditimbulkannya telah mempercepat ritme kerja negara, menambah kepadatan lalu-lintas, dan menarik jutaan pekerja dari wilayah-wilayah pinggiran untuk bermukim di kota-kota sedang dan besar. Namun SEE juga mempertemukan India kuno dan modern dalam pertentangan nilai, menantang landasan moral dan kultural sebuah bangsa yang didirikan oleh prinsip-prinsip Gandhi mengenai kesederhanaan, persaudaraan, dan spiritualitas.
Keberadaannya telah meningkatkan selera India dalam kepemilikan materi—khususnya mobil—dan banyak orang India, khususnya mereka yang berusia di atas 30 tahun, mengalami kesulitan untuk mengenali India yang diiklankan di televisi dan baliho, yang muncul dalam aneka balutan warna desainer dan kecepatan akselerasi mobil yang mampu melaju dari nol hingga enampuluh kilometer perjam di bawah sepuluh detik.
!break!
”Saya melihat SEE sebagai metafora India modern, berpacu dengan kecepatan seratus mil perjam,” ujar sejarahwan Ramachandra Guha, penulis buku India Setelah Gandhi. ”Bayangkan kita tengah berhenti di sebuah lampu merah kemudian membuka jendela mobil. Terdapat sebuah jalan setapak di sebelah jalan raya, dan seorang lelaki tua kecil melintas di atas sepedanya. Sambil menunggu dengan tidak sabar agar lampu lalu-lintas segera berubah, lelaki tersebut berseru kepada kita untuk berhati-hati, menurunkan laju kecepatan, jangan terlalu terburu-buru dan berpikiran sempit dalam upaya mengejar pembangunan dan kekayaan dan materi. Lelaki di atas sepeda itu adalah Gandhi. Ia merupakan bagian dari hati nurani kita, dan dengan perubahan yang telah terjadi di India, ia tetap tidak dapat diabaikan.”
Dari balik kaca jendela depan truk milik Rakesh Kumar, Segi Empat Emas tampak bagaikan pertunjukan wayang di atas aspal yang disinari oleh cahaya lampu kendaraan yang menari-nari, sebentuk batu buatan manusia yang membosankan dan dibuat hidup oleh makhluk-makhluk yang tercipta dari lampu jarak jauh kendaraan bermotor yang muncul dari balik bayangan di sepanjang jalan dan menghilang sesaat setelah dilihat: sisi tubuh seekor sapi, setumpuk jerami, bangkai seekor anjing, hantu di atas sepeda. Waktu menunjukkan pukul 3.30 dini hari, dan Rakesh bersama keponakannya Sanjay yang berusia 19 tahun tengah mengunyah tembakau masalah dengan kandungan oktan yang tinggi—yang membuat mereka terjaga dengan membakar gusi—menggaruk bekas gigitan kutu, sambil mendengarkan lagu-lagu cinta Bollywood sumbang yang diputar Rakesh melalui pengeras suara kecil yang mampu membangunkan orang mati. ”MUSIK UNTUK MENGEMUDIKAN TRUK!” teriaknya mengatasi suara mesin, yang berderum seperti pesawat 747 walaupun truk tersebut masih melaju di bawah 50 kilometer per jam.
Bahkan dengan kecepatan tersebut, ia mampu membalap truk-truk lainnya yang berjalan di jalur lambat, dan tugas Sanjay adalah memberitahu Rakesh apabila mereka telah berhasil mendahului sebuah truk dengan memukuli rangka pintu dengan suara yang keras. Mereka tengah berada 400 kilometer di utara Mumbai di negara bagian Gujarat, mengangkut sembilan ton lilin, pewarna kain, dan peralatan listrik menuju pabrik-pabrik di Delhi. Mereka sudah mengalami dua ban pecah malam ini—Rakesh berhenti di toko ban pinggir jalan dan memaksa sang mekanik untuk bangun membetulkannya—dan sekarang ia tengah mengebut untuk mencapai sebuah titik pemeriksaan sebelum pukul 4 pagi, ketika ia dijadwalkan untuk bertemu dengan seorang teman atasannya. Katanya, pria ini akan ”memandu” mereka melalui titik-titik pemeriksaan di perbatasan negara bagian Rajasthan, karena truk tersebut kelebihan beban.
Walaupun batas maksimum kecepatan berkendaraan di SEE mencapai 80 kilometer per jam, pada umumnya Rakesh membawa truknya dengan kecepatan 65 kilometer per jam atau lebih pelan lagi untuk menghemat bahan bakar; pemiliknya memberikan uang yang cukup untuk biaya operasional, dan Rakesh bebas mengantongi sisa uang yang tidak terpakai. Jika semua berjalan dengan lancar, ia dapat melipatgandakan penghasilannya untuk perjalanan seperti ini, yang jumlahnya tidak terlalu besar. Perekonomian India mungkin tengah melaju, namun bagi seorang lelaki seperti Rakesh, dengan seorang istri dan empat anak yang harus dibiayainya, setiap rupee menjadi diperhitungkan. Ketika aku berkunjung ke tempat tinggalnya di jalan masuk yang berdebu di Ahmadabad, keempat anaknya—dua lelaki dan dua perempuan yang berusia antara tiga hingga 18 tahun—dengan bangga menunjukkan kontribusi mereka terhadap keuangan keluarga, memperbaiki sapu di lantai ruang keluarga untuk sebuah pabrik tekstil lokal. ”Di keluarga ini, jika kau tidak bekerja, kau tidak akan mendapatkan makan,” kata Rakesh.
!break!
Sebagai seorang pria yang keras, lucu, dan jujur berusia 42 tahun, Rakesh memiliki tubuh yang menyerupai seorang mantan petinju—bahkan hidungnya tampak seperti telah ditonjok—namun Anda salah jika menilai tampilan machonya sebagai pertanda kesembronoan. Pria ini telah mengemudikan truk secara profesional selama 22 tahun. Ia menghargai reputasinya sebagai seorang pengemudi yang aman dan tidak pernah mabuk. ”Dari semua pengemudi yang berkendara di jalan raya malam ini, aku berani bertaruh bahwa 90 persennya tengah memakai narkoba,” katanya—ganja, minuman keras, atau doda, campuran opium dan sirih yang menyerupai teh dan banyak dipakai pengemudi agar tetap siaga, namun pada saat yang bersamaan mengganggu penilaian mereka. Namun ia tetap memilih untuk berkendara di malam hari, ketika udara sejuk dan SEE lebih lengang dari lalu lintas manusia dan hewan yang dapat memperlambat jalan seorang pengemudi atau menyebabkan sebuah kecelakaan.
Di jalan raya besar dengan enam jalur, bukanlah hal yang tidak lazim ketika mendapatkan gerobak-gerobak sapi, kerbau, sepeda motor, dan terkadang sebaris truk dan mobil yang mengarah langsung kearahmu, di jalurmu, berkendara melawan arus dikarenakan jaraknya yang lebih pendek atau lebih mudah atau mungkin karena mereka bingung. Kambing terkadang merumput di taman pembatas pinggir jalan, dan lalu-lintas seringkali tertahan oleh sapi-sapi keramat, satu-satunya pengguna jalan raya yang tampaknya tidak menyadari bahaya di sekitarnya.
Kota-kota yang terbelah di tengah oleh jalan raya menjadi berbahaya karena banyak pejalan kaki menyeberangi jalan yang dipadati kendaraan, yang hampir tidak pernah bersedia mengurangi kecepatan lajunya. Di beberapa kota tersebut, kemacetan menjadi sangat parah sehingga SEE tampak berhenti total, dan hukum-hukum fundamental lalu-lintas di India, yang menyerupai peraturan koloni lebah, mengambil alih keadaan. Menyeberangi perempatan yang sibuk memberi kita kesempatan untuk melihat secara sekilas karakter di India: penuh usaha, kreatif, saling mendorong, bertenaga, pantang menyerah, dan kooperatif. Ketika bersiap untuk menyeberangi jalan, kau menyadari dorongan-dorongan yang selalu terjadi di sekelilingmu, tiap orang mengambil posisi untuk melewatimu dalam perjalanan mencapai sisi lainnya. Tidak terdapat keberingasan di dalamnya; hanya saja berdiri diam bukanlah sebuah pilihan.
Sebelum mencapai loket pembayaran tol di Udaipur, Rakesh memutuskan untuk meninggalkan SEE dan mengambil rute alternatif melalui daerah perbukitan ke arah barat. Walaupun lebih lambat, jalan raya dengan dua lajur tersebut memungkinkan dirinya menghemat biaya tol kurang lebih sebesar Rp180.000. Jalan tersebut juga memberikan gambaran sekilas mengenai kehidupan sebelum adanya SEE. Tingkat kecelakaan di jalan raya dua lajur di India lebih tinggi dibandingkan di SEE, dan Rakesh mengomentarinya dengan berkata, ”mungkin itulah hal yang paling baik tentang jalan raya baru ini. Jalanannya lebih aman.”
!break!
Suatu sore kami melewati sebuah bangkai kendaraan bekas kecelakaan—sebuah truk yang baru saja memasuki jalan raya ditabrak dari belakang oleh sebuah trailer 18 roda yang melaju cepat di turunan dengan muatan dua balok marmer putih seberat delapan ton yang diangkut dari sebuah lokasi penambangan lokal. Kedua balok raksasa tersebut tidak diikat namun dibiarkan saja di bagian belakang truk. Dalam kecelakaan tersebut, keduanya terhempas ke depan dan melindas bagian depan truk, meratakan sang pengemudi dan kedua asistennya hingga tewas.
Dalam kasus-kasus seperti itu, gerombolan masa dengan cepat seringkali terbentuk dan menyerang pengemudi yang selamat, tanpa memedulikan apakah ia bersalah atau tidak. Saya sempat menyaksikan kurang lebih setengah lusin kecelakaan dalam perjalanan sepanjang SEE, dan pada umumnya gerombolan tersebut telah terprovokasi, dan lebih tertarik main hakim sendiri daripada memberikan pertolongan pertama pada korban yang patah tulang dan berdarah di jalanan. Suatu malam, cerita Rakesh, ia bertabrakan dengan sebuah becak motor yang dengan sembrono melaju di depannya. Ketika ia berupaya menolong sang pengemudi becak, dengan kaget ia menyadari bahwa sebuah gerombolan tengah terbentuk, dan berteriak-teriak menuntut darah sang pengemudi truk. Dengan cepat ia menyusup dan bergabung bersama mereka meneriakkan, “Di manakah pengemudi brengsek itu? Bunuh dia!”
Apabila bukan dikarenakan oleh SEE, Tamil Selvan yang berusia 29 tahun mungkin masih memetik kelapa di desanya di negara bagian di selatan India, Tamil Nadu. Namun sebaliknya, dengan penuh tanggung jawab Tamil muda mengendarai sepeda ayahnya pulang pergi menuju sebuah sekolah negeri di desa yang lebih besar yang terletak beberapa kilometer dari tempat tinggalnya. Ia kemudian mengikuti pendidikan di sebuah perguruan teknik di kota terdekat, dan kini ia menjabat sebagai seorang teknisi senior di pabrik mobil raksasa Hyundai di dekat SEE di sebelah barat Chennai, menemukan dan memperbaiki kerusakan pada lempengan-lempengan metal berwarna perak yang melaju di sepanjang ban berjalan, berhenti di tiap stasiun kerja dalam waktu rata-rata selama 64 detik. Setelah dirakit, hasil kerjanya lalu dicat dan dipoles dan dikirimkan, menggunakan truk melalui SEE, menuju pelabuhan di Chennai kemudian ke berbagai penjuru dunia—suatu hal yang, bahkan setelah sepuluh tahun bekerja, masih sulit dipahami oleh Tamil. ”Bayangkan perjalanan yang harus dihadapi oleh mobil- mobil ini sepanjang hidupnya”—ucapnya jujur—”berbagai perubahan cuaca, jalan-jalan dan lalu-lintas yang berbeda di seluruh dunia. Sulit membayangkan bahwa perjalanan mereka dimulai dari sini.”
Tamil, seorang kepala keluarga yang pendiam dan bertubuh gempal dengan kumis, menghabiskan sembilan jam waktu kerjanya mengenakan sebuah seragam—kaos polo dan celana biru tua, masker debu putih, penyumbat telinga oranye, sarung tangan putih—dan tampaknya hampir selalu menggenggam sebuah alat di tangannya. Ia merupakan salah satu pegawai pertama yang dipekerjakan oleh Hyundai pada tahun 1998, setelah perusahaan pembuat mobil dari Korea Selatan tersebut membangun pabriknya di sini, sebidang tanah datar seluas 216 hektar. Kini 5.400 pekerja Hyundai telah memiliki kualitas kerja yang membantu India menjadi salah satu tujuan utama di dunia bagi para pengusaha. Martii Salomaa, seorang manajer berkebangsaan Finlandia yang bekerja di pabrik tetangga, Nokia yang dibuka pada tahun 2006 dan kini mempekerjakan 9.000 orang, mengatakan bahwa India memiliki ”angkatan kerja yang paling luar biasa di dunia. Orang-orang sini sangat kreatif, pekerja keras, penuh tenaga dan ide-ide baru. Anda tidak pelu mendorong mereka, karena mereka senantiasa saling mendorong; tantangannya adalah bagaimana mengarahkan energi mereka yang luar biasa itu.”
!break!
Tamil tidak menganggap dirinya sebagai seorang pencipta ataupun pemecah masalah, seperti jutaan anak India selatan yang dibesarkan di desa yang terletak beberapa kilometer dari jalan aspal terdekat dan membantu ayahnya, sama halnya dengan Tamil, telah menggarap kebun kecil yang ditanami mangga, padi, dan kelapa. Di tempat kerja, salah satu saran Tamil—mengadakan selang hidrolik kedua di bawah stasiun kerja agar dril milik tim dapat digunakan secara efisien di kedua sisi mobil—dianggap sebagai suatu hal yang wajar, namun idenya berhasil membuat perusahaan menghemat ribuan jam kerja dan memberinya penghargaan sebagai Pegawai Hyundai Bulan Ini. Hal tersebut merupakan pencapaiannya yang paling membanggakan, dan ia menyimpan sertifikat penghargaannya, dengan tulisan yang tercetak di atasnya, ”KAMI BANGGA PADAMU,” di dalam sebuah buku khusus di rumahnya. Ia menggunakan hadiah uang tunai 2.500 rupeenya untuk membeli sebuah sepeda motor bekas agar ia, istrinya, dan anak lelakinya yang masih kecil dapat bepergian ke kampung halamannya untuk menghadiri festival dan sekali-kali berkunjung di akhir minggu.
Setiap pabrik di sepanjang SEE, termasuk Hyundai, menciptakan ”ekosistem” tersendiri, membuka lusinan lapangan kerja terspesialisasi yang dengan cepat diisi oleh wirausahawan-wirausahawan India yang penuh energi. Sebagai contoh, Hyundai dikelilingi oleh 83 perusahaan kecil, yang memasok kaca jendela depan, alat penempel, lampu sorot, kaca spion, dan bagian- bagian khusus lainnya. Sebaliknya, masing-masing perusahaan memiliki pemasok tersendiri yang menyediakan jasa transportasi truk, pergudangan, pelayanan administrasi, dan dukungan logistik. India juga telah membentuk Zona-zona Ekonomi Khusus (ZEK) yang menyediakan infrastruktur baru dan masa bebas pajak bagi perusahaan asing yang membuat produk ekspor dengan mempekerjakan pegawai India. Hingga saat ini terdapat lebih dari 200 ZEK di India, yang menghasilkan lebih dari Rp135 triliun dalam ekspor tahunan dan menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari setengah juta pekerja India.
Kekuatan ekosistem tersebut turut memegang andil terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi India yang bertambah sebesar 9 persen per tahun, berada di urutan kedua setelah China dalam perbandingan ekonomi pasar. Namun, berbeda dengan China, India menjalankan demokrasi bebas yang menimbulkan konflik tanah untuk pembangunan jalan raya dan zona-zona usahanya. Di negara yang padat penduduk seperti India—lebih dari satu milyar manusia bermukim di kawasan yang kurang lebih sepertiga luas wilayah Amerika Serikat—nampaknya setiap jengkal tanah yang berharga dipertahankan oleh pemiliknya. Pembangunan sebuah pabrik memakan lahan pertanian; pelebaran jalan raya menggusur ribuan toko kecil, restoran, pemberhentian truk, warung teh, dan usaha-usaha lainnya. Jalanan memang mengubah segalanya, namun tidak selamanya menguntungkan bagi semua orang.
Ejekan dan teromol gas air mata merobek udara pada suatu Minggu sore yang panas setahun yang lalu, ketika sebuah persengketaan tanah pecah di dekat Singur, sebuah distrik pertanian di sebelah barat Kalkuta di sepanjang Segi Empat Emas. Pemandangan dipenuhi dengan asap gas air mata yang membumbung, yang bolak-balik tertiup di sepanjang lanskap pedesaan, bagaikan adegan pada masa Perang Sipil. Berkumpul di salah satu sisi lapangan terbuka yang datar, dalam bentuk pemberontakan sipil ala Gandhi, beberapa ribu petani dari desa-desa sekitar, yang bersatu untuk merebut kembali tanah yang diambil oleh pemerintah. Sebuah barisan tempur menghadang mereka, dan terdiri atas beberapa ratus polisi negara berseragam khaki, dipersenjatai dengan tameng dan lathi, tongkat bambu berukuran satu meter yang berat, yang mampu melumpuhkan bahkan menewaskan seorang petani, jika diayunkan dengan kekuatan yang cukup besar.
!break!
Di balik garis polisi terdapat dinding bata setinggi tiga meter yang dikelilingi oleh kawat berduri, dan di belakangnya terdapat tanah pertanian seluas 260 hektar yang dijual oleh pemerintah negara bagian Bengal Barat kepada Tata Motors, manufaktur raksasa kendaraan bermotor India, sebagai insentif pembangunan pabrik di lokasi tersebut. Bersebelahan dengan SEE dan terletak hanya satu jam dari Kalkuta, lokasi tersebut secara jelas memberikan keuntungan bagi perusahaan bernilai Rp5 triliun yang mengirimkan produknya ke seluruh India dan juga dunia; dan Tata Motors, yang dipastikan oleh pejabat negara telah menjalankan proses sesuai hukum,
sudah berkomitmen untuk merakit mobil revolusionernya seharga Rp22.500.000 di lokasi tersebut.
Dalam satu dekade terakhir, Otoritas Jalan Raya India telah menjalankan langkah-langkah yang luar biasa untuk memberikan kompensasi bagi mereka yang bermukim di jalur Segi Empat Emas. Pada umumnya para pemilik tanah dan petani penyewa lahan telah dibayar oleh pemerintah India, sebagian menggunakan pinjaman dari World Bank. Di zona usaha yang terletak bersebelahan, tanggung jawab pembebasan lahan untuk pembangunan ekonomi dipegang oleh pemerintah negara bagian. Ironisnya, pemimpin Partai Komunis di Bengal Baratlah—salah satu negara bagian termiskin yang tertinggal jauh secara ekonomi—yang tiba-tiba berubah dan fanatik terhadap ide pro-bisnis, melakukan penyitaan tanah dan taktik adu otot untuk menarik para manufaktur dengan mengorbankan petani-petani miskin yang dahulu memilih mereka pada waktu pemilu. Ketika hal tersebut benar-benar terjadi, bentrokan perebutan tanah pun berubah buruk.
Di Singur, seorang perempuan tua yang penuh amarah, dengan berani melangkah tergopoh-gopoh menyeberangi wilayah sengketa menuju garis polisi, sambil mengacungkan tongkat berat yang lebih besar dari tubuhnya. ”Tanah kami telah dicuri! Di mana rasa kemanusiaan kalian?” teriaknya serak, diiringi sorak-sorai dari ratusan pemrotes yang mengikutinya. Pria-pria remaja bertelanjang dada, yang bangkit amarahnya, merangsek ke depan dan melempari batu dan bata ke arah polisi, yang menghalanginya dengan tameng mereka. Dengan satu isyarat, barisan depan garis polisi mulai maju ke arah para demonstran sambil mengacungkan lathi mereka, sementara polisi lainnya melemparkan teromol gas air mata dan menembakkan peluru karet ke arah para petani. Dalam bentrokan yang terjadi selanjutnya, lusinan pemrotes terluka, walaupun polisi agak menahan diri karena hadirnya wartawan. Malam itu, setelah kami pergi, polisi datang kembali dengan pasukan yang lengkap, menangkap para pimpinan protes, memukuli lebih banyak orang dengan lathi. Biro intelijen negara menghubungi pemandu kami dan memberi peringatan: Jika kami datang lagi, kami juga akan diinterogasi.
Beberapa hari kemudian segelintir pemrotes berkumpul di desa petani terdekat bernama Beraberi. Seorang petani bernama Kashinath Manna, 75 tahun, matanya bersinar seperti anak remaja, bercerita mengenai tanah seluas 2,8 hektar yang digarap oleh dirinya dan kedua saudara lelakinya sejak mereka masih kecil, tanah yang diwarisi dari ayah mereka, dan dari ayahnya sang ayah. Tanaman mereka diairi oleh sumur-sumur yang digali oleh Pemerintah India pada masa revolusi hijau pertanian tahun 1960an untuk mencegah malnutrisi dan membuat India mandiri. Air sumur tersebut, kata Kashinath, merupakan kunci utamanya; yang menciptakan kesuburan tanah sehingga mampu memberi panen hingga lima kali setahun—kacang okra, buncis, kentang, rami—hasil panen yang mampu menghidupi keluarga besarnya, 32 anak dan cucu, yang bergantung pada Kashinath dan kedua saudara lelakinya. “Kami mampu memanen sangat banyak sehingga aku harus menggunakan becak untuk membawanya ke pasar,” katanya.
!break!
Kini Kashinath cukup membawa hasil panennya ke pasar menggunakan tas kanvas yang diselempangkan di bahu. Hanya sebanyak itulah yang mampu ia panen di tanahnya yang seluas sepersepuluh hektar, sisa wilayah yang dimiliki keluarganya sekarang, setelah Tata Motors menempatinya. Ia tidak akan melupakan hari ketika ia kelihangan sisa tanahnya. Saat itu masih sangat pagi, selepas subuh, dan ketika ia berbelok keluar dari jalan tanah desa menuju jalan setapak yang mengarah ke tanah keluarganya, ia terkejut menyaksikan barisan polisi yang berdiri di antara dirinya dan lahan pertaniannya; di belakang mereka para pekerja tengah memasang pagar kawat berduri. Ketika ia mendekat, polisi mengangkat senjatanya dan menyuruhnya pulang. Rasanya ia seakan ditelanjangi, ceritanya. ”Kami hanya petani,” ucapnya sedih. ”Hanya pekerjaan itulah yang saya pahami. Akhir-akhir ini saya sering memikirkan untuk bunuh diri.” Salah satu teman baik Kashinath, juga seorang petani, melakukan bunuh diri beberapa bulan yang lalu.
Pemerintah Bengal Barat mengaku memiliki kekuasaan untuk mengambil alih tanah warga berdasarkan peraturan tahun 1894 dan bersikeras bahwa sebagian besar petani di Singur melepaskan tanahnya secara sukarela untuk memperoleh balasan kompensasi. Klaim tersebut menyinggung Kashinath. Tidak seorang petanipun yang akan melepaskan tanah yang subur secara sukarela, ujarnya.”Dan jika kami benar memberikannya secara sukarela, mengapa mereka harus mengirimkan polisi untuk melawan kami? Saya bukan seorang penjahat. Seumur hidup saya belum pernah menyakiti siapapun. Namun kini saya lelah dengan kekhawatiran. Apa yang akan kami makan? Bagaimana kami akan menjalani hidup? Bagaimana masa depan anak-anak kami?”
Anuradha Talwar dari Serikat Pekerja Petani Bengal Barat mengatakan bahwa ”banyak petani yang diintimidasi oleh anggota partai yang memaksa mereka untuk membuat persetujuan tertulis mengenai pengambilalihan tanah mereka,” dan hanya 60 persen wilayah yang dialihkan secara hukum. Untuk menekankan isu tersebut, organisasinya mengajukan gugatan perkara yang mengatasnamakan para petani, yang kini tengah berlangsung di pengadilan.
Di sisi lain negeri tersebut, di kantornya di Mumbai, Ravi Kant, direktur utama Tata Motors, sebuah perusahaan India ternama yang memiliki catatan tanggung jawab sosial yang baik, mengakui bahwa di Singur ”terdapat kesempatan untuk melakukan perbaikan,” namun memilih untuk menyorot 2.000 pekerjaan dan berbagai keuntungan ekonomi lainnya yang akan ditimbulkan oleh keberadaan pabriknya di Segi Empat Emas bagi masyarakat Bengal Barat, salah satu negara bagian yang paling tertinggal di negeri tersebut. ”Pada akhirnya, lebih banyak orang yang akan menangguk keuntungan dari proyek ini dibandingkan mereka yang menderita,” tambah rekannya Debasis Ray, seorang putra daerah Bengal Barat. ”Inilah sifat dasar kemajuan.”
!break!
Kaum petani sudah mulai merasakan keuntungan dari keberadaan jalan raya tersebut di beberapa wilayah. Di Mettur, sebuah desa petani apik yang terletak di ujung jalan satu lajur, orang tua Tamil Selvan, sang pekerja Hyundai, kini bertempat tinggal di rumah bagus bertingkat dua yang terbuat dari beton, 275 kilometer dari pabrik tempat anaknya bekerja. Di sebelah rumah mereka sekarang, terdapat rumah asli mereka yang terdiri dari satu kamar dan terbuat dari batangan kayu dan campuran semen, yang kini digunakan untuk menyimpan kelapa, kentang, dan karung karung goni berisi beras. Beberapa tahun yang lalu pemerintah negara bagian mengaspal jalan menuju desa, menghubungkannya dengan jalan raya sekunder dan SEE serta pasar-pasar yang terletak jauh. Inovasi lainnya dari tahun 1990an—jaringan telpon nirkabel, yang menyertai jalan raya di seluruh India serta memberikan jaringan yang minim gangguan bagi pengendara jalanan—membantu para petani mengambil keuntungan dari jalanan yang baru. Di beberapa tempat seperti Mettur, dengan telpon selular seharga kurang lebih Rp270.000 dan ongkos pulsa beberapa belas ribu rupiah setiap bulannya, kini para petani dapat menjalankan usaha dagang dari jarak ratusan kilometer jauhnya, mengeliminasi peran tengkulak dan menghilangkan sebagian tanya jawab yang pada umumnya timbul dari pengangkutan dan penjualan jarak jauh.
”Jalan-jalan tersebut telah mengubah segalanya,” ujar ayah Tamil, Devaraja Pillai, seorang pria hangat dan berwibawa berusia 59 tahun. ”Biasanya kami hanya dapat menjual hasil panen di kota-kota terdekat, dan harga seringkali rendah. Kini kami memiliki truk, yang sering kami gunakan untuk mengangkut kelapa dan mangga ke pasar-pasar yang lebih besar seperti Bangalore dan Chennai. Kami dapat menjual kelapa seharga tujuh rupee per pon di Bangalore, tiga kali lipat dari yang kami dapatkan di sekitar sini. Dan kami dapat menghemat hingga setengah waktu yang dulu digunakan untuk mencapai lokasi tersebut, sehingga hasil panen kami masih segar.” Sebagai seorang petani paruh waktu, ayah Tamil juga seorang guru sekolah di desanya, penyair, dan pengagum sang guru abad ke-19, Swami Vivekananda, yang rambut panjang dan mata besar bahagianya tampak terpajang dalam foto-foto di berbagai penjuru rumah. Pada dinding ruang keluarga yang berwarna hijau cerah, ia telah menempelkan salah satu kutipan dari Vivekananda: ”Pendidikan merupakan wujud kesempurnaan yang dimiliki manusia.” Kata-kata tersebut menjadi kredonya.
Enam bulan setelah Tamil bekerja di Hyundai, perusahaan tersebut mengundang keluarga pegawai-pegawai barunya untuk mengunjungi pabrik, semua biaya ditanggung. Ibu dan ayah Tamil mengendarai bus ke Chennai melalui Segi Empat Emas dan terkejut dengan ukuran Hyundai, yang telah diperingati oleh Tamil sebagai ”perusahaan besar, seluas samudera.” Mereka menyaksikan dengan mata terbelalak lebar ketika anaknya mengoperasikan peralatan seharga jutaan dolar dan mengagumi efisiensi ban berjalan, yang dideskripsikan oleh ayahnya sebagai ”setengah robot, setengah manusia, bekerjasama sebagai suatu kesatuan.”
Devaraja juga melihat kesempurnaan di dalam diri Tamil yang belum pernah ia saksikan sebelumnya, sebuah perwujudan dari keterampilan yang dipelajarinya dan kepercayaan diri yang kini telah membebaskan jutaan masyarakat pedesaan di India dari ikatan kasta dan geografi. Dalam dua dekade terakhir, jumlah rakyat India yang hidup di bawah garis kemiskinan telah menurun, dan kelas menengah telah tumbuh secara dramatis—sebuah pencapaian yang mungkin juga akan dirayakan oleh Gandhi.
!break!
Bapak pendiri India, yang masih dielu-elukan, merupakan simbol India yang sulit dibayangkan akan menjalani pengaspalan jalan raya atau dipenuhi pabrik-pabrik baru. Namun di masa kini, Gandhi memiliki berbagai arti bagi banyak orang. ”Tampaknya India telah berkembang dan meninggalkan pola pikir ’sederhana’, namun Gandhi masih sangat penting untuk masa sekarang,” ujar Subhabrata Ghosh, seorang eksekutif di Saatchi & Saatchi/India yang selalu mengikuti perkembangan wacana di negerinya. ”Gandhi mengartikan keberanian, kompetensi, penguatan, dan kemauan untuk mewujudkan perubahan. Memang benar saat ini kita tidak hidup dalam masa perjuangan kemerdekaan. Namun terdapat sebuah pasar global, dan Gandhi merupakan seseorang yang sangat kompetitif yang pernah ada. Ia berhasil mengusir Inggris tanpa menembakkan sebutir peluru!”
Dalam perjalananku di jalur cepat menuju Delhi, pada akhirnya aku berkesempatan untuk menemui Gandhi yang dianjurkan oleh Ramachandra Guha, sang lelaki bijak yang mengendarai sepeda dan memberitahu orang-orang India agar mengurangi laju kecepatannya, bersikap santun, tidak melupakan identitas diri mereka yang sesungguhnya. Suatu pagi di Rajasthan, semua kendaraan dipaksa untuk menyingkir dari salah satu sisi jalan raya oleh sekawanan sapi Brahmana yang berjumlah ratusan dan tengah digembalakan oleh sepasang pengembara berpakaian cerah yang bergerak melawan arus lalu-lintas. Ketika hewan-hewan tersebut merumput di semak-semak sebuah halaman rumah yang terletak berdekatan, kulihat seorang lelaki tua yang berbaring di bawah pohon pipal, menghisap sebuah hookah. Di belakangnya, sebuah sepeda berdebu tengah tersandar di dinding kompleks tempat tinggalnya, kurang lebih seratus meter dari jalan raya.
Kuhampiri dirinya ketika ia tengah memanggil pulang anjingnya yang menggonggongi kawanan sapi dengan galak: ”Beevcoof! Bodoh! Kembali ke sini!” Namanya Deen Dayal, jelasnya, dan ia tampak seperti salah satu karakter perang Inggris – Afghanistan, dengan kumis putih besarnya yang mirip Pak Raden, potongan rambut lelaki, dan sinar mata yang penuh kenakalan. Dengan suara keras bernada tegas, ia bercerita bahwa usianya 80 tahun dan ia memiliki tanah di kedua sisi jalan raya, dengan tiga dhaba, atau tempat pemberhentian truk, dan sebuah pom bensin yang menghasilkan uang banyak dalam waktu singkat, berkat kemacetan di SEE. Kini ia mengendarai sepedanya melalui jalan-jalan setapak antara rumah dan tempat-tempat usahanya, namun ia tidak lagi berani berkendara di jalan raya. ”Saya tidak dapat mendengar dengan jelas lagi, dan mobil-mobil itu bergerak dengan sangat cepat sehingga membuatku takut. Setengah tanah milikku ada di seberang jalan raya, dan saya terlalu takut untuk menyeberanginya.”
Ketika membicarakan jalanan, ia berkata, ”Saya sangat marah. Saya baru tahu bahwa mereka berencana untuk memperlebar jalan lagi, dan kali ini akan memakan seluruh halaman saya.” Ia menunjukkan sebuah tiang pancang dari besi yang tertancap setengah meter dari pojok dinding depan rumahnya. ”Para petugas jalan raya datang bersama 15 atau 20 anggota polisi lalu mengukur tanah hingga ke sini,” katanya. ”Halamanku, pohonku, tempat peristirahatanku—semuanya hilang.”
!break!
Kami duduk dalam sunyi selama beberapa saat, lalu, setelah merasa lebih tenang, ia menceritakan padaku keadaan sebelum pembangunan jalan, dan mereka harus berjalan sejauh 16 kilometer untuk mencapai stasiun kereta api terdekat. Ia menjalani masa pemisahan India dan Pakistan, dan ia juga menceritakan hal tersebut.
”Apakah Anda sempat bertemu dengan Gandhi?” tanyaku.
”Ya, pernah,” jawabnya. Tidak lama setelah kemerdekaan, muncul dorongan untuk mengembangkan pembangunan jalan raya, dan pemerintah berencana untuk membangun salah satunya di tempat ini. ”Namun mereka ingin membangunnya di tengah-tengah perkebunan kami, lokasi jalan raya tersebut berada saat ini. Lalu ayah saya dan saya sendiri dan sekelompok orang lainnya menaiki kereta ke Delhi untuk meminta Gandhiji dan Nehru agar memindahkan jalan tersebut ke pinggiran tanah kami supaya wilayahnya tidak akan terbagi dua.”
”Bagaimana kelanjutannya?” tanyaku.
”Oh, semua berjalan dengan baik,” jawabnya. ”Mereka menemui kami dan bersalaman dengan kami dan mendengarkan semua argumen kami dengan sangat sopan. Kemudian mereka melanjutkan kegiatan yang telah mereka rencanakan sebelumnya dari awal.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR