Cerita oleh Tri Winarni | Foto oleh Valentino Luis
Nationalgeographic.co.id—“Nah ini sarang burung gosong,” tunjuk Panggih ke arah gundukan tanah yang berlubanglubang. Gundukan itu, imbuhnya, adalah sarang burung gosong kaki merah. “Di sinilah kami menemukan telur-telur komodo.”
Panggih adalah Polisi Hutan pada Resor Riung, Seksi Wilayah Bajawa, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur. Lelaki itu menemani perjalanan saya ke kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Tujuh Belas Pulau—kendati jumlah pulaunya ada 24 buah.
“Riung punya komodo, tetapi Komodo tidak punya Riung,” demikian pemeo yang kerap terdengar tentang takdir semesta di Kecamatan Riung, Nusa Tenggara Timur. Pemeo itu meyakinkah siapa saja bahwa si kadal purba tidak hanya hidup di Taman Nasional Komodo.
Baca Juga: Amba Warloka, Sebuah Cawan Peleburan Pusparagam Bangsa di Flores Barat
Saya dan Panggih singgah di Ontoloe, pulau terbesar di dalam kawasan lestari itu. Daratan seluas 600 hektare ini menyediakan pakan buat kadal purba yang hanya tersisa di bumi Indonesia. Bentang alamnya menjadi tumpuan hidup bagi mangrove, sabana, pohon asam, dan lamtoro. Ini adalah habitat yang disukai mbau, demikian orang Riung menyebut komodo.
Kelestarian komodo, selain bergantung pada tempat hidup, juga ditentukan oleh sumber pakan. Selain komodo, hidup binatang lain seperti gosong atau wontong, kelelawar, babi hutan, landak.
Di Flores, selain bermukim di Taman Nasional Komodo dan Taman Wisata Alam Tujuh Belas Pulau, kadal purba ini juga menghuni pulau lain di bagian barat dan utaranya. Kedua kawasan lestari itu memiliki komodo dengan DNA sama. Sementara itu, komodo-komodo di Pulau Ontoloe berbadan lebih kecil dengan warna kulit lebih cerah kekuningan.
Empat pohon asam mengapit gundukan tanah sarang burung gosong. Tempat itu menjadi saksi kehidupan baru penerus kadal raksasa. Sebanyak 16 telur komodo menetas setahun silam. Untungnya, kamera penjebak sempat dipasang pada pohon asam tadi.
Baca Juga: Simbol Perempuan di Kampung Tua Wologai
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR