Nationalgeographic.co.id – Berlayar (cruising) merupakan salah satu kegiatan travelling. Aktivitas ini dipilih bagi mereka yang punya waktu berlibur panjang, mapan, ingin menikmati all in one leisure, serta mendapat pengalaman baru.
Sama seperti aktivitas pariwisata lainnya, berlayar memiliki dampak positif bagi ekonomi suatu wilayah. Apalagi, sektor pariwisata satu ini setiap tahun selalu menunjukkan perkembangan.
Data asosiasi industri pelayaran terbesar di dunia Cruise Lines International Association (CLIA) mengungkapkan, jumlah penumpang kapal pesiar secara global terus meningkat dari 17,8 juta orang pada 2009 menjadi 28,2 juta pada 2018. Pada 2020, diperkirakan ada sebanyak 32 juta penumpang yang berlayar.
Di balik prospeknya yang besar, sektor pelayaran ternyata memiliki dampak negatif yang harus dibayar. Salah satunya adalah environmental cost atau dampak pada lingkungan.
Baca Juga: Perjalanan Ramah Lingkungan dengan Bahan Bakar dari Sampah Plastik
Contoh kecilnya, kegiatan diving atau snorkelling yang akrab dengan wisata pesiar dapat menyebabkan kerusakan pada terumbu karang. Sebab, penyelam biasanya berenang terlalu dekat dengan terumbu karang. Hal lainnya, terjadi peningkatan polusi pada destinasi-destinasi wisata yang menjadi tujuan kapal pesiar.
Menyadari risiko kerusakan lingkungan tersebut, para pemimpin industri pelayaran pun memberikan perhatian penuh untuk mengatasinya. Kini, sudah banyak perusahaan penyedia jasa pelayaran yang menerapkan praktik pelayaran ramah lingkungan. Begitu juga dengan pelabuhan-pelabuhan.
Diberitakan usatoday.com, Selasa (21/1/2020), Senior Vice President of Maritime Policy CLIA Brian Salerno mengatakan, industri pelayaran secara keseluruhan telah mengambil langkah-langkah untuk menjaga kelestarian lingkungan.
“Hal ini menjadi sesuatu yang selama ini menjadi fokus industri pelayaran, bahkan industri maritim secara keseluruhan,” kata Salerno.
Baca Juga: Teknologi Ini Hasilkan Bahan Bakar Ramah Lingkungan dengan Fotosintesis Buatan
Seluruh anggota CLIA, kata Salerno, memiliki komitmen untuk mengurangi tingkat emisi karbon akibat aktivitas pelayaran hingga 40 persen pada 2030 mendatang.
Salerno menambahkan, dalam satu dekade terakhir, industri kapal pesiar telah fokus pada beberapa upaya untuk mengurangi dampak lingkungan kapal pesiar. Berikut di antaranya.
Mengendalikan emisi karbon
Sebagian besar kapal pesiar menggunakan mesin diesel raksasa sebagai penggeraknya. Sayangnya, penggunaan mesin ini dapat menghasilkan polusi udara berupa sulfur dioksida dan nitrogen oksida, yang dapat menyebabkan masalah pernapasan.
Karena itu, industri kapal pesiar mulai mencari cara untuk mengontrol emisi yang dihasilkan. Pertama, dengan menggunakan sistem pembersihan gas buang (EGCS). Menurut CLIA, sistem tersebut dapat mengurangi kadar sulfur oksida sebanyak 98 persen dan dapat mengurangi nitrogen oksida hingga 12 persen.
Kapal-kapal pesiar keluaran terbaru banyak yang menggunakan liquefied natural gas (LNG) sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan. Beberapa perusahaan kapal pesiar yang menggunakan kapal LNG di antaranya Carnival Corp dan Royal Caribbean Cruises Ltd.
Baca Juga: Ubah Ketinggian Pesawat Efektif Membuat Penerbangan Lebih Ramah Lingkungan?
Efisiensi bahan bakar
Selain mencari alternatif bahan bakar ramah lingkungan, perusahaan kapal pesiar juga berupaya membuat kapal mereka lebih hemat bahan bakar. Misalnya, menambahkan sistem pelumasan udara pada lambung kapal untuk mengurangi hambatan dan gesekan serta konsumsi bahan bakar.
Riset yang dilakukan University of Bonn di Jerman menunjukkan, sistem itu dapat menghemat hingga 20 persen bahan bakar sehingga bisa menurunkan emisi karbon dioksida global.
Selain itu, saat ini, telah banyak pelabuhan yang menyediakan pembangkit listrik khusus kapal, yang bisa digunakan ketika kapal merapat di pelabuhan. Dengan begitu, mesin kapal bisa dimatikan saat berada di pelabuhan untuk menghemat bahan bakar.
Mengurangi sampah plastik
Sama seperti wisata lainnya, kapal pesiar juga berupaya untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Contohnya, Norwegian Cruise Line yang berkomitmen mengurangi penggunaan plastik sekali pakai pada 2020 dan menggantinya dengan gelas atau wadah berbahan kertas untuk air.
Kemudian, ada pula Oceania Cruises yang menjalin kemitraan dengan penyedia sistem distilasi air ramah lingkungan terkemuka di dunia, Vero Water sejak 2019. Begitu juga dengan Royal Caribbean yang mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dalam bentuk sedotan dan kemasan saus.
Baca Juga: Tak Hanya Gunakan Produk Ramah Lingkungan, Kolaborasi Para Pihak Jadi Kunci untuk Selamatkan Bumi
Tak hanya di tingkat global, kesadaran dan upaya untuk menjaga lingkungan juga sudah dilakukan di Indonesia. Sebagai penyedia layanan transportasi laut, ASDP Ferry Indonesia juga sudah melakukan upaya serupa.
Adapun upaya tersebut diimplementasikan dalam Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang salah satu fokusnya adalah pelestarian lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan target pemerintah untuk mengurangi sampah laut hingga 70 persen pada 2025.
Untuk diketahui, data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menunjukkan, sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Sebanyak 3,2 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut.
Komitmen ASDP untuk menjaga dan melestarikan lingkungan itu tertuang dalam Keputusan Direksi No 34/HK.002/ASDP/2014 tentang Pemberlakuan Sistem Manajemen Keselamatan dan Perlindungan Lingkungan.
Baca Juga: Tak Hanya Gunakan Produk Ramah Lingkungan, Kolaborasi Para Pihak Jadi Kunci untuk Selamatkan Bumi
Dalam keputusan direksi itu, ASDP berkomitmen untuk menggunakan energi ramah lingkungan, mengelola limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) secara terpadu, mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan melakukan penghematan energi dan merealisasikan program penanaman pohon yang mampu menyerap karbon dioksida di dalam maupun di luar daerah operasi ASDP.
ASDP berupaya menghemat penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk mengurangi emisi karbon. Selain itu, melakukan pengelolaan terhadap emisi bahan perusak ozon (BPO) yang menjadi salah satu sumber perubahan iklim.
Langkah konkret yang dilakukan ASDP untuk mengurangi BPO adalah menggunakan AC dengan refrigerant (zat pendingin) yang ramah lingkungan. Kebijakan serupa juga berlaku untuk penggunaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR), yaitu penggunaan zat pemadam non-Halon.
Pada 2018, ASDP pun melakukan Penyusunan Prosedur Identifikasi Aspek Lingkungan dan Bahaya, Penilaian Risiko, dan Penentuan Pengendalian Dampak Lingkungan dan Bahaya. Selain itu, ASDP juga membuka layanan pengaduan terkait masalah lingkungan yang dapat diakses masyarakat.
Edukasi masyarakat
Selain melakukan upaya-upaya internal, ASDP juga berusaha mengedukasi dan mengajak masyarakat agar lebih peduli terhadap lingkungan, terutama limbah sampah di laut. Karena itu, ASDP berkolaborasi dengan National Geographic Indonesia (NGI) untuk melaksanakan kampanye #MERAJUTNUSANTARA.
Baca Juga: Langkah Kecil untuk Lebih Ramah Lingkungan? Beralih ke Bambu
Lewat kampanye ini, ASDP bersama NGI mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga lingkungan sekitar dan kekayaan alam Indonesia dimulai dari langkah kecil, yakni menjaga lingkungan dari limbah sampah serta bijak dalam menggunakan plastik.
Bentuk edukasi yang dilakukan cukup unik. Selain melalui berita dan infografik, ASDP dan NGI menyelenggarakan pelayaran dengan kapal feri milik ASDP dari Pelabuhan Merak, Banten, menuju Pelabuhan Bakauheni, Lampung, pada 24-26 Desember 2020.
Dalam kapal itu, akan diselenggarakan talk show dan standup comedy bertema sampah laut (marine debris) dan bahayanya. Tujuannya untuk mengedukasi pengguna jasa dan awak kapal tentang pentingnya menjaga lingkungan.
Selain itu, ASDP dan NGI juga mengajak penumpang kapal untuk #tukarplastik yang mereka miliki dengan beberapa jenis hadiah menarik karena telah ikut serta dalam menjaga laut dan lingkungan.
Langkah nyata lainnya, ASDP dan NGI menyediakan drop box khusus untuk mengumpulkan sampah plastik di kapal dan beberapa pelabuhan. Sampah yang telah terkumpul akan diolah kembali menjadi barang-barang bermanfaat.
Dengan demikian, seluruh upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan laut dapat berjalan dengan baik.
Penulis | : | Anissa Dea Widiarini |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR