Seketika suara sember muncul dari radio, “Zzzz... Papa Kilo Sierra Zero Seven Seven. Wind calm. Continue to take-off. Right turn after... Zzzz”
Suara itulah yang saya dambakan sejak seminggu silam: Izin untuk mengangkasa. Kami bersiap dan bergerak perlahan, lalu melaju cepat, dan kian cepat. Tiga rodanya melibas rerumputan yang membuat kokpit sedikit terguncang. Sibar bermesin ini telah membuat saya berdebar-debar. Pun, separuh napas ini telah saya titipkan ada pada Edgar.
Kami mengangkasa! Ternyata di ujung landasan telah berdiri beberapa warga yang berkemah di sekitar Lido menyaksikan kami saat lepas landas. Tatkala sibar bermesin ini meninggalkan bumi, saya dan Edgar membalas lambaian tangan mereka.
Rasa ngeri itu datang juga.
Saya menoleh kebelakang, betapa mesin mungil ini telah meluncurkan kami ke angkasa tanpa batas. Kami seperti terbang dengan sibar yang menggerayangi kebun brokoli. Betapa tidak, pohon-pohon di bawah kami terlihat lebih mirip dengan kebun brokoli atau kembang kol yang tersusun rapi menyelimuti kontur tanah. Danau Lido tampak berkilauan.
Untuk beberapa saat kami berdua terdiam, menikmati suasana pagi yang tenang.
Kami terbang menjemput matahari pagi. Dari Lido menuju Sentul, melewati Rancamaya. Angin kencang dan dingin menyeka wajah kami. Terbang di kawasan ini kerap menjumpai turbulensi lantaran terletak di antara dua gunung.
“Semuanya terlihat indah”, itulah percakapan pembuka saya lewat microphone yang tersemat di depan bibir. “Ya, memang! It’s another new world”, sahut Edgar dari kokpit depan. Kemudian dia memutar musik yang menyuguhkan kedamaian hati dan suasana dari angkasa.
KAMI ADALAH ORANG-ORANG TERTIB. Setidaknya, kami selalu izin minta lewat di setiap kawasan terbang. Penerbangan ini melintasi tiga wilayah udara: Lido, Atang Sanjaya, dan Halim Perdanakusuma. Dua terakhir adalah landasan udara militer.
Kami telah memasuki wilayah udara Lanud Militer Atang Senjaya. “Please establish contact to Atang Senjaya”, petugas ATC Lido mengingatkan.
Pilot segera melakukan hubungan kontak dengan Atang Senjaya dan melaporkan identitas pesawat dan posisi kami. Selalu terhubung dengan otorisasi wilayah udara wajib dilakukan selama terbang.
Edgar mengingatkan kepada saya, “Jika sampai tak terpantau, selain menyalahi aturan, hal itu juga membahayakan jiwa penerbang sendiri dan pemakai transpor udara lainnya.”
Saya melirik peranti GPS. Kami sedang mengarungi ruang tak berbatas sekitar 850 meter di atas permukaan laut, dengan kecepatan berkiar 60 kilometer per jam.
Saya melirik satu persatu instrumen yang terpasang di dashboard. Gantole bermotor ini terus melaju dengan kecepatan rata-rata 40 mil/jam. Layar GPS menunjukkan angka 2.806 kaki.
Saat melintas angkasa pinggiran Kota Bogor, kegugupan saya diketinggian seolah sirna. Kami menyaksikan keindahan bentang alam antara Gunung Salak dan Gunung Gede-Pangrango.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR