Nationalgeographic.co.id—“Kita tidak jadi terbang!” ujar Edgar Ekaputra yang berkepala plontos dan bertubuh gempal. “Anginnya terlalu kencang. Kita coba lagi minggu depan.”
Sebuah pernyataan yang membuat saya kecewa lantaran saya telah berkorban menanti selama tiga jam sejak pukul enam pagi di Solowings Flight Club, Lido. Pagi di lembah barat Pangrango belumlah berakhir, namun keinginan saya untuk terbang perdana dengan wahana trike pupuslah sudah.
Edgar merupakan seorang atlet gantole kawakan sekaligus orang Indonesia pertama yang menerbangkan trike sejak lebih dari 30 tahun silam—dialah Sang Legenda!
Bagi yang berhobi layang gantung, trike—pesawat microlight—adalah bentuk modifikasinya: gantole bermesin. Istilah “gantole” berasal dari bahasa Bugis untuk menyebut sibar atau capung. Entah, kenapa dijuluki capung. Padahal menurut saya bentuk sayap dan dengungannya tampak lebih mirip, katakanlah, lalat hijau.
Baginya, untuk layak terbang dengan wahana ini, kecepatan angin haruslah tak melebihi 20 kilometer per jam. Melanggar pedoman ini berarti maut. Walaupun tak memberikan batasan ruang, dirgantara tidak memberi ampunan sekecil apapun kekhilafan kita.
Dia menunjuk deretan kata di atas papan tulis ruang pengarahan sembari berkata, “Sky has no limit, but there's no room for error!”
Setiap orang mungkin punya mimpi untuk terbang. Peradaban terdahulu telah menorehkan impian-impian terbangnya meski dengan karya belum sempurna. Salah satunya Leonardo da Vinci yang dikenal orang sebagai pendesain mesin terbang pengangkut manusia pada abad pertengahan. Seperti da Vinci, saya pun punya impian suatu saat bisa menerbangkan pesawat sendiri.
SEMINGGU KEMUDIAN, HARI YANG DINANTI PUN TIBA. Sekawanan anggota klub masih merangkai sayap-sayap trike. Saya bersama Edgar, yang siap dengan jaket dan sarung tangan, berjejak di rerumputan landasan perintis Lido yang basah karena sisa hujan semalam.
Kami menuju trike yang tengah diuji kelengkapannya. Setiap unit trike memiliki logbook, catatan pemakaian dan perbaikan.
“Anda tahan dingin ngga? Kalau tidak tahan, pakailah ini.” Kemudian dia memberikan balaclava dan manset hitam untuk melindungi muka dan lengan saya.
Setelah memakai busana tambahan itu, tampaknya kami lebih mirip ibu-ibu berhijab yang berduyun ke pengajian ketimbang sosok lelaki penerbang kawakan.
Saya menyaksikan panel instrumen navigasi dan kecepatan mesin. Pesawat trike milik Edgar ini juga dilengkapi dengan peranti darurat.
Balistic Paraschute System, parasut yang dikembangkan untuk kondisi darurat, dan Personal Beacon, transmisi darurat yang terhubung dengan satelit internasional.
“Semua saya beli untuk berjaga-jaga,” ujarnya sembari mesem. “Semoga saja tidak pernah dipakai.”
Saya mengamini ucapan Edgar itu. Mesin berbaling-baling yang berada tepat dibelakang tempat saya bersandar mulai menderu. Kami saling mengecek perangkat radio yang tersemat di helm masing-masing dan menunggu perintah pemandu lalu lintas udara Lido.
Seketika suara sember muncul dari radio, “Zzzz... Papa Kilo Sierra Zero Seven Seven. Wind calm. Continue to take-off. Right turn after... Zzzz”
Suara itulah yang saya dambakan sejak seminggu silam: Izin untuk mengangkasa. Kami bersiap dan bergerak perlahan, lalu melaju cepat, dan kian cepat. Tiga rodanya melibas rerumputan yang membuat kokpit sedikit terguncang. Sibar bermesin ini telah membuat saya berdebar-debar. Pun, separuh napas ini telah saya titipkan ada pada Edgar.
Kami mengangkasa! Ternyata di ujung landasan telah berdiri beberapa warga yang berkemah di sekitar Lido menyaksikan kami saat lepas landas. Tatkala sibar bermesin ini meninggalkan bumi, saya dan Edgar membalas lambaian tangan mereka.
Rasa ngeri itu datang juga.
Saya menoleh kebelakang, betapa mesin mungil ini telah meluncurkan kami ke angkasa tanpa batas. Kami seperti terbang dengan sibar yang menggerayangi kebun brokoli. Betapa tidak, pohon-pohon di bawah kami terlihat lebih mirip dengan kebun brokoli atau kembang kol yang tersusun rapi menyelimuti kontur tanah. Danau Lido tampak berkilauan.
Untuk beberapa saat kami berdua terdiam, menikmati suasana pagi yang tenang.
Kami terbang menjemput matahari pagi. Dari Lido menuju Sentul, melewati Rancamaya. Angin kencang dan dingin menyeka wajah kami. Terbang di kawasan ini kerap menjumpai turbulensi lantaran terletak di antara dua gunung.
“Semuanya terlihat indah”, itulah percakapan pembuka saya lewat microphone yang tersemat di depan bibir. “Ya, memang! It’s another new world”, sahut Edgar dari kokpit depan. Kemudian dia memutar musik yang menyuguhkan kedamaian hati dan suasana dari angkasa.
KAMI ADALAH ORANG-ORANG TERTIB. Setidaknya, kami selalu izin minta lewat di setiap kawasan terbang. Penerbangan ini melintasi tiga wilayah udara: Lido, Atang Sanjaya, dan Halim Perdanakusuma. Dua terakhir adalah landasan udara militer.
Kami telah memasuki wilayah udara Lanud Militer Atang Senjaya. “Please establish contact to Atang Senjaya”, petugas ATC Lido mengingatkan.
Pilot segera melakukan hubungan kontak dengan Atang Senjaya dan melaporkan identitas pesawat dan posisi kami. Selalu terhubung dengan otorisasi wilayah udara wajib dilakukan selama terbang.
Edgar mengingatkan kepada saya, “Jika sampai tak terpantau, selain menyalahi aturan, hal itu juga membahayakan jiwa penerbang sendiri dan pemakai transpor udara lainnya.”
Saya melirik peranti GPS. Kami sedang mengarungi ruang tak berbatas sekitar 850 meter di atas permukaan laut, dengan kecepatan berkiar 60 kilometer per jam.
Saya melirik satu persatu instrumen yang terpasang di dashboard. Gantole bermotor ini terus melaju dengan kecepatan rata-rata 40 mil/jam. Layar GPS menunjukkan angka 2.806 kaki.
Saat melintas angkasa pinggiran Kota Bogor, kegugupan saya diketinggian seolah sirna. Kami menyaksikan keindahan bentang alam antara Gunung Salak dan Gunung Gede-Pangrango.
Tampak kejauhan bangunan putih ditengah rerimbunan hijaunya pohon, “Itu Istana Bogor!”, seru Edgar sambil menunjuk arah kiri kami. “Tapi itu restricted area ya, kita ngga boleh terbang di atasnya”, tegasnya.
Memang ada beberapa wilayah larangan terbang permanen yang harus dipatuhi, seperti instalasi militer, istana atau kediaman Presiden. Sesaat kemudian kami terbang melintas tol Jagorawi yang pagi itu tampak lengang, biasalah Minggu pagi.
Titik balik kami adalah sebuah lapangan baseball di Sentul City. Kami melakukan manuver sambil mengitari sebuah lapangan baseball dua kali. Pada manuver kedua, ketinggian lebih rendah, sehingga kami bisa melambaikan tangan kepada wajah-wajah keheranan para pemain baseball.
Memasuki kawasan ini pilot harus hati-hati untuk mengukur manuver ketinggian lantaran banyaknya menara tegangan tinggi dengan kabel-kabel yang siap memerangkap kami.
“Lihat sepertinya daerah sana sudah hujan,” ujar Edgar dari radionya. Lalu dia menyarankan untuk segera kembali ke Lido seraya berkata, “Saya ‘kan bisa berbicara dengan awan.”
Saya meyakininya lantaran awan hitam memang mulai bergulung seolah hendak mengejar kami. Badai bisa dengan mudah mengempaskan dan mengoyak sayap sibar ini.
Sebenarnya alam selalu memberikan sinyal yang menentukan apakah kita tetap terbang atau harus mendarat. Pembentukan dari awan sampai hujan, bahkan badai, selalu melewati suatu proses yang bisa diamati, tidak terjadi begitu saja. Setiap penerbang mutlak mengetahui jenis-jenis awan dari yang berkategori ringan sampai berat, dari cirrus sampai comulo-nimbus.
Dari radio terdengar informasi Lanud Militer Atang Senjaya bahwa akan ada pesawat Cessna 172 Skyhawk berkabin 4 orang melintas dari arah Lido menuju ke arah kami. Kami pun membalas dengan menginformasikan bahwa ketinggan gantole bermesin ini di bawah 2.000 kaki. Sekali lagi, inilah pentingnya komunikasi dengan ATC.
Kode “17” di ujung airstrip Lido mulai terlihat. Kami pun bersiap landing dari arah Utara landasan setelah mendapat izin dari ATC.
Petualangan belum berakhir. Semua penerbang setuju bahwa mengangkasa jauh lebih mudah ketimbang mendarat.
Baca Juga: Mengapa Jendela Pesawat Selalu Bulat? Ada Alasan Ilmiah di Baliknya
Baca Juga: Pengorbanan Ibnu Firnas Menjadi Manusia Terbang Pertama di Dunia
Baca Juga: Apa Arti Tanda-Tanda yang Berada di Sebuah Landasan Penerbangan?
Baca Juga: Mengapa Pesawat Komersial Tak Menyediakan Parasut untuk Penumpangnya?
Kini trike berubah menjadi glider yang meluncur mendekati airstrip. Landing memang lebih sulit dan lebih beresiko dibandingkan take off. Saat take off, pilot punya alternatif untuk membatalkan. Namun ketika landing –hanya ada satu kesempatan– pilot tak ada alternatif lain.
Namun, justru di saat mendebarkan itu kami sedikit bertingkah dengan mencoba mematikan mesin dan menyulap sibar ini menjadi pesawat layang.
Seketika suasana senyap.
Saya lagi-lagi menitipkan separuh napas ini kepada Edgar, sembari berharap tidak ada angin yang mengacaukan arah pendaratan.
Sang pilot berusaha menstabilkan posisi trike dan menjaga sudut aman untuk mendarat. Beberapa detik kemudian roda-roda belakang mulai menyentuh landasan.
Brak!
Kami merindukan gerak serupa untuk roda depan. Sibar bermesin ini meluncur kencang di landasan dan berhenti dengan sempurna.
Dalam beberapa puluh meter kami meluncur sepanjang landasan dan akhirnya berhenti. Sambil melepas helmnya, Edgar berkelakar kepada saya, “Boys only dream, but man really fly.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR