Baca Juga: Riset Ungkap Kenapa Banjir di Indonesia Terjadi Lebih Sering dan Parah
Daerah-daerah di pantura yang kecepatan penurunan tanahnya masih relatif agak kecil adalah Cirebon, Tegal, Brebes, dan Pemalang, Penurunan tanah di sana relatif agak lambat mungkin dikarenakan jumlah penduduknya lebih sedikit dan manajemen airnya lebih bagus.
"Kalau Pekalongan itu kota dengan manajemen air paling buruk di Jawa. Karena 90% penyediaan air oleh pemerintah di sana itu menyedot air tanah lewat program PAMSIMAS (Program Nasional Penyediaan Air Minum)," ujar Heri.
Kemudian, di daerah pantura bagian timur, kecepatan penurunan tanah yang relatif cepat ditemukan di wilayah Surabaya. Berdasarkan ringkasan pemetaan penurunan tanah oleh Heri dan timnya, kecepatan penurunan tanah yang paling mengerikan di jalur pantura adalah Jakarta yang bisa mencapai 20 sentimeter per tahun, lalu Pekalongan yang bisa mencapai 15 sentimeter per tahun, lalu Semarang dan Surabaya hingga 20 sentimeter per tahun.
Baca Juga: Cara Cegah Infeksi Virus Nipah yang Berpotensi Jadi Pandemi Berikutnya
Penyebab Turunnya Permukaan Tanah
Ada tujuh faktor yang bisa menyebabkan permukaan tanah di suatu daerah menurun. Dua merupakan faktor alamiah atau disebabkan oleh alam, lima lainnya adalah faktor antropogenik atau disebabkan oleh manusia. Dua faktor alamiah adalah berupa kompaksi dan tektonik.
Menurut perhitungan Heri, kontribusi kedua faktor alamiah itu paling maksimum hanya akan menyebabkan kecepatan penurunan tanah di jalur pantura sebesar 2,3 sentimeter per tahun. Jadi, jika ada daerah-daerah di pantura yang kecepatan penurunan tanahnya mencapai 10 sentimeter per tahun, 15 sentimeter per tahun, bahkan 20 sentimeter per tahun, itu berarti sebagian besarnya disebabkan oleh faktor antropogenik.
"Faktor antropogenik itu meliputi eksploitasi air tanah; beban bangunan dan infrastruktur; eksploitasi migas; eksplorasi geotermal dan tambang bawah permukan; dan terakhir pengeringan lahan gambut," papar Heri.
Di sebagian besar daerah di Pulau Jawa, penyebab utama penurunan tanahnya adalah eksploitasi atau penyedotan air tanah secara berlebihan. Contohnya, hal ini terjadi pada Jakarta, Semarang, dan Pekalongan.
Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?
"Di Jakarta, (penyebab utama turunnya tanah adalah) beban bangunan dan eksploitasi air tanah," sebut Heri. "Kalau di pantura Jabar, seperti di Muara Gembong hingga Indramayu, lebih cenderung disebabkan eksploitasi migas. Nah kemudian untuk Pekalongan tadi jelas eksploitasi air tanah. Kalau Semarang, terutama di bagian utara dan timur, itu ada kawasan industri yang jadi penopang Jawa Tengah. Jadi bisa dipastikan itu juga karena eksploitasi air tanah."
Yang perlu kita --masyarakat dan pemerintah-- pahami, air tanah bukanlah satu-satunya sumber untuk air konsumsi. Ada sumber-sumber air lainnya yang bisa kita manfaatkan demi mencegah penurunan tanah akibat airnya terus-menerus kita eksploitasi.
"Sebenarnya kalau kita bisa mengelola air permukaan di sungai (water treatment) untuk air konsumsi, itu kan cadangannya masih luar biasa. Kemudian dari air hujan, ada istilahnya water harvesting. Itu (cadangannya) sangat luar biasa, bahkan bisa dibilang tak terhingga kalau kita mau. Bahwa air hujan bisa ditampung untuk jadi air konsumsi."
Bahkan, di luar negeri mulai marak juga penerapan water recycling, yakni mendaur ulang air yang sudah dipakai untuk dipakai kembali. Sayangnya, masyarakat dan pemerintah di Indonesia cenderung lebih suka cari cara instan tanpa memikirkan dampaknya di masa depan.
Baca Juga: Studi: Air Laut Akan Naik Lebih Tinggi Lampaui Skenario Terburuk PBB
"Kita ini kan tipikalnya ketika ada yang mudah, kenapa mempersulit diri," celetuk Heri.
Sayangnya, cara memperoleh air konsumsi yang kita anggap mudah selama bertahun-tahun ke belakang ini, ternyata bakal mempersulit diri kita di masa depan. Bahkan, bukan hanya berbuah kesulitan di masa depan, melainkan juga kesusahan di masa kini. Banjir di Pulau Jawa adalah buahnya.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR