Nationalgeographic.co.id—Keberadaan pohon Cengkih Afo III di Ternate yang masih tegak berdiri hingga saat ini merupakan saksi bisu sejarah rempah Maluku. Cengkih Afo III merupakan pohon cengkih tertua di dunia yang masih hidup. Usianya diperkirakan 200 tahun, dengan lingkaran 3,90 meter, dan panen per musim mencapai 260 kilogram.
Sebelumnya sempat ditemukan pula Cengkih Afo I dan Cengkih Afo II, pohon-pohon cengkih lain yang lebih tua di Ternate. Namun Cengkih Afo I sudah mati sejak sekitar tahun 2000 dengan usianya saat itu mencapai 416 tahun. Tinggi cengkeh Afo I sekitar 36,6 meter dengan diameter batang 1,98 meter dan panen per musim 600 kilogram. Sementara cengkeh Afo II juga sudah mati sekitar 2019 dan usianya diperkirakan 250 tahun. Dengan lingkar batang pohon yang mencapai 3,97 meter, tingkat panen per musim ditaksir mencapai 340 kilogram.
Dalam bahasa Ternate, kata “Afo” memiliki arti “tua”. Ada pula versi lain yang mengatakan bahwa kata “Afo” berasal dari kata 'Alfalat', nama keluarga yang berhasil menyelamatkan pohon-pohon cengkeh saat eradikasi (pemusnahan) oleh Belanda, yang sejak abad ke-16 berkuasa dan memonopoli perdagangan cengkih di Ternate.
Kedatangan para penakluk dari Belanda ke Ternate merupakan buntut dari kedatangan bangsa-bangsa Eropa lainnya yang sudah lebih dulu menyambangi Kepulauan Maluku dan mendapatkan keuntungan besar dari penjualan rempah-rempah Maluku di Eropa. M. Adnan Amal dalam bukunya yang berjudul Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 mencatat bahwa bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Maluku adalah Portugis, kemudian baru disusul oleh Spanyol, Belanda, dan Inggris.
Klik di sini untuk pendaftaran Avontur Daring Merapah Rempah
Pada 1506, Lodewijk de Bartomo tiba di Ternate dari Banda. Ia merupakan orang Eropa pertama yang datang ke Maluku, sebagaimana dicatat dalam sejarah. De Bartomo adalah seorang Portugis. Sesampainya ke tanah asal, ia melaporkan bahwa rakyat di Banda masih liar, sementara Islam telah memasyarakat di Ternate hingga ke lingkungan keluarga istana. Tidak jelas posisi de Bartomo ketika berkunjung ke daerah-daerah Maluku tersebut. Di samping itu, tidak terdapat bukti adanya kontak resmi yang dilakukan de Bartomo dengan pejabat atau penguasa lokal.
Beberapa tahun setelah kedatangan de Bartomo, Portugis secara resmi tiba di Maluku dalam upayanya mencari daerah asal rempah-rempah. Kedatangan Portugis kemudian disusul Spanyol dalam selang waktu yang relatif singkat, menyusul Belanda dan Inggris dalam selang waktu yang berbeda.
Tahun 1512 merupakan awal sejarah perdagangan rempah-rempah yang panjang dan penuh konflik antara sesama kerajaan Maluku ataupun antara kerajaan-kerajaan di Maluku dengan orang-orang Eropa serta antara sesama orang Eropa. Konflik-konflik ini terutama dilatari kehendak untuk memperebutkan rempah-rempah dan perniagaannya atau untuk mendapatkan hak monopoli atasnya. Konflik-konflik yang berkepanjangan dan rumit, yang terjadi pada masa-masa selanjutnya, tidak hanya merambat ke dalam kehidupan sosio-kultural dan keagamaan, tetapi juga menggembosi dan meludeskan kedaulatan serta kemerdekaan kerajaan-kerajaan Maluku, termasuk Kerajaan Ternate yang merupakan kerajaan terbesar di sana.
Sebelum bangsa Eropa datang ke Maluku, para pedagang di Maluku sebenarnya telah terbiasa menjalin perdagangan rempah dengan pedagang-pedangan dari Tiongkok, Gujarat, dan Arab. Namun tak ada dari mereka yang memiliki niat rakus untuk memonopoli perdagangan rempah ini sepert bangsa Eropa.
Baca Juga: Pernikahan Usia Dini di Berbagai Negara: Diatur Orang Tua dan Sesepuh
Kepulauan Maluku memang dikenal sebagai penghasil rempah-rempah berkualitas tinggi, terutama cengkihnya (Eugenia aromatica). Thome Pires, ketika bertemu pedagang-pedagang bangsa Melayu menyatakan, "Tuhan telah menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk pala serta Maluku untuk cengkih, dan barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia ini kecuali di tempat-tempat tadi; dan telah saya tanyakan dan selidiki dengan teliti apakah barang ini terdapat di tempat lain, dan semua orang katakan tidak."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR