Pires adalah pakar obat-obatan Portugis yang tiba di Malaka beberapa saat setelah penaklukannya oleh Portugis. Ia juga mengunjungi Jawa dan Sumatera untuk penelitian ilmu obat-obatan. Bukunya, Suma Oriental, ditulis di Malaka dan diselesaikan di Goa. Tanah asal tanaman cengkih (eugenia aromatica) adalah lima pulau kecil di Maluku: Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Bacan. Tetapi, di Halmahera –khususnya Jailolo– juga tumbuh pohon tersebut, yang mungkin disebarkan ke sana oleh burung atau manusia.
Semula para pedagang dari Tiongkok, yang pertama kali menjalin transaksi dengan pedagang Maluku, masih merahasiakan asal-usul daerah penghasil cengkih, kayu cendana, dan pala selama berabad-abad. Dari para pedagang Tiongkok inilah, orang-orang di belahan dunia lain, termasuk orang-orang Melayu, Arab, dan Hindustan, bisa menikmati rempah-rempah dari Maluku tanpa mengetahui daerah asalnya. Lewat pada pedagang Arab dan Hindustan inilah, rempah-rempah Maluku kemudian juga bisa masuk ke dunia Barat melalui pintu masuk Yunani.
Belakangan, ada beberapa sumber Tiongkok yang mengungkapkan bahwa pedagang-pedagang Tiongkok telah mengetahui Maluku sebagai penghasil rempah-rempah dan melakukan pelayaran niaga ke kawasan ini melalui Manila sejak abad ke-13. Pada abad ke-14, seabad setelah perahu-perahu besar Tiongkok melayari daerah Maluku, pedagang nusantara (Jawa dan Melayu) dan pedagang asing lainnya (Arab dan Hindustan) akhirnya turut tiba di daerah ini. Dan di awal abad ke-16, para pelaut dari Eropa turut menemukan daerah ini.
Baca Juga: Bencana akibat Mencairnya Gletser Himalaya Itu Sudah Diwanti-wanti
Sejak dulu orang-orang Maluku biasa memanfaatkan rempah-rempah sebagai bumbu penyedap masakan dan untuk pengobatan. Ketika pelalut Inggris bernama Francis Drake mengunjungi Ternate, ia dijamu Sultan Babullah dengan berbagai jenis masakan –dari nasi sampai sagu dan ikan bubara bakar– yang semuanya diramu dengan aroma cengkih.
Orang-orang Tiongkok, pada zaman dahulu, menggunakan cengkih untuk pengobatan dan stimulasi selera makan. Bahkan, mereka percaya bahwa cengkih dapat meningkatkan kemampuan seksual manusia.
Pada zaman pemerintahan dinasti Han di Tiongkok, cengkih digunakan para hakim untuk melegakan tenggorokan sebelum mengucapkan putusan atau menjatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa. Para punggawa juga diharuskan mengunyah cengkih untuk mengharumkan suasana audiensi mereka atau ketika menghadap kaisar menerima titah, supaya mereka bisa berbicara dengan suara yang bagus dan lancar.
Di Eropa, selain untuk pengobatan dan penyedap masakan, cengkih juga digunakan sebagai parfum. Bubuk cengkih dipakai sebagai obat hirup yang biasanya merupakan asesori kalangan menengah ke atas. Tetapi, karena harganya sangat mahal, ia hanya dapat dinikmati oleh golongan berduit.
Baca Juga: Riset Ungkap Kenapa Banjir di Indonesia Terjadi Lebih Sering dan Parah
Pada abad pertengahan, rempah-rempah masih merupakan barang mewah di Eropa yang bernilai sangat mahal. Karena harga jualnya yang sangat tinggi di pasaran Eropa, tidaklah mengherankan jika para pedagang berusaha mati-matian membawanya ke sana, sekalipun dengan resiko tinggi yang mesti dihadapi di sepanjang jalur perniagaan.
Seperti yang tercatat dalam sejarah, kerajaan-kerajaan Maluku mengandalkan sumber penghasilannya dari sektor produksi dan perdagangan rempah-rempah ini. Kerajaan Ternate, misalnya, berhasil meraih hegemoni politik hingga penghujung abad ke-16 dan beberapa dekade pada abad sesudahnya, karena menguasai sebagian besar –bahkan, menjadi sentra perdagangan– rempah-rempah di Maluku.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa negara-negara Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan kemudian juga Inggris seolah-olah berjudi dengan nasib dan mempertaruhkan segalanya dalam upaya memperoleh monopoli atas perdagangan rempah Maluku dan kemudian mempertahankannya dengan segala daya dan upaya, baik politik, ekonomi, maupun kekuatan militer?
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR