Baca Juga: Manisnya Pabrik Gula Era Hindia Belanda yang Kini Masih Terasa
Jawabannya terletak pada keuntungannya yang sangat menggiurkan. Keuntungan dalam perniagaan rempah-rempah begitu fantastis, bahkan hampir tidak masuk akal. Seorang pedagang Arab pernah mengatakan bahwa jika ia membawa enam perahu bermuatan rempah-rempah dan kehilangan lima perahu lainnya di tengah jalan, maka keuntungan yang diraihnya dari satu perahu yang tinggal itu masih lumayan.
Sebagai perbandingan, harga rempah-rempah pada abad ke-16 di pasaran lokal dan internasional dapat digambarkan sebagai berikut: Pada 1600, 10 pon cengkih di Maluku –seharga setengah penny per pon– bila dijual di Eropa, akan menghasilkan keuntungan sebesar 32.000 persen. Keuntungan yang fantastis itulah yang mendorong para pejabat Eropa –baik Portugis, Spanyol atau Belanda– turut berdagang secara pribadi.
Menurut Leonard Y. Andaya (1973), perdagangan rempah-rempah di Ternate secara khusus telah menjadi penggerak aktivitas perniagaan di kawasan Asia Tenggara dan memunculkan interaksi dengan berbagai bangsa dan budaya di nusantara. Ternate mengemuka dalam catatan sejarah terutama karena hasil rempah-rempahnya. Tanahnya yang subur menjadikan Ternate penghasil cengkih dan pala terpenting di Kepulauan Maluku. Keadaan itu didukung oleh posisi geografisnya yang terletak dalam kesatuan lintasan Laut Maluku, Sulawesi, dan Laut Sulu yang merupakan satu kesatuan, sehingga menempatkan kawasan ini sebagai bagian dari jalur utama internasional.
Kepulauan Maluku pada umumnya, dan Pulau Ternate pada khususnya, telah membangkitkan pengembangan terhadap sejarah dan kartografi dunia. Semua penjelajah samudra abad ke-16 dan ke-17 berlomba mencari rute pelayaran menuju legenda pulau rempah ini. Jelas dan tak terbantahkan, kartografi dunia berutang pada cengkih Ternate.
Klik di sini untuk pendaftaran Avontur Daring Merapah Rempah
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR