Nationalgeographic.co.id - Pernahkah Anda memperhatikan adanya label Bimbingan Orang Tua atau Parental Advisory, Explicit, dan label sejenisnya di album musik band favorit Anda? Label itu menunjukkan bila suatu karya memiliki batas minimal usia untuk dinikmati.
Bermula pada awal Desember 1984, ketika Karenna Gore, putri Al Gore (senator Amerika Serikat), yang saat itu berusia 11 tahun meminta ibunya untuk membelikan album Purple Rain karya Prince. Ia meminta pada ibunya, Tipper Gore, setelah mendengar Let's Go Crazy, salah satu hit yang didengarnya dari radio. Sang ibu pun menurutinya.
Sontak, ketika Tipper Gore mendengar Darling Nikki yang lirik lagunya menyebutkan tentang seorang yang melancap dengan iblis seks yang ditemui di hotel.
"Awalnya, saya tercengang—lalu saya marah! Jutaan orang Amerika membeli Purple Rain tanpa tahu apa maknanya. Ribuan orang tua memberikan album kepada anak-anak mereka!" ungkapnya.
Baca Juga: Nostalgia Lewat Musik Lawas, Penawar Psikologis di Masa Pagebluk
Keresahannya ia tulis lewat buku berjudul Raising PG kids in an X-rated society yang terbit pada 1987. Gore menulis, bahwa maraknya rock 'n roll sebagai "produk baru pornografi yang keji dan penuh kekerasan [yang] dijajakan" oleh industri musik dan musisi hedonistik.
Menjelang tahun baru 1985, Tipper Gore mengungkapkan keresahannya soal musik rok kepada rekannya, Susan Baker—istri dari Menkeu James Baker. Mereka sepakat bahwa musik rok saat itu sangat berpengaruh dan berisiko pada perkembangan moral anak-anak. Maka keduanya pun mengajak 'Para Istri Pemerintahan' lainnya untuk berperang melawan 'rok porno'.
Tak lama, Gore bersama rekan-rekan mendirikan Parents' Music Resource Center (PMRC) pada 1985. Organisasi ini didukung oleh kaum relijius dan pemegang norma budaya.
Musim panas 1985, mereka berhasil mengakurasi sejumlah lagu dalam daftar Filthy Fifteen dan diberi label. PMRC memperkenalkan label-label seperti D/A (narkoba atau alkohol), X (konten mengandung seksual), V (konten vulgar), dan O (konten mengandung unsur 'gaib' atau satanisme).
Label X dalam daftar itu di antaranya seperti Eat Me Alive karya Judas Priest, Darling Nikki karya Prince, Sugar Walls oleh Sheena Easton, (Animal) Fuck Like a Beast karya W.A.S.P, Strap on Robby Baby karya Vanity, Dress You Up karya Madonna, She Bop karya Cyndi Lauper, Let Me Put My Love into You karya AC/DC, dan My House karya Mary Jane Girls.
Sedangkan lagu yang mengandung konten vulgar adalah Bastard karya Motley Crue, dan We're Not Gonna Take It karya Twisted Sister. Label D/A pada High 'n Dry karya Def Leppard, dan Trashed karya Black Sabbath. Serta label O pada Into The Coven karya Mercyful Fate, dan Possessed karya Venom.
Tak hanya PMRC sendiri, akurasi pemberian label juga melibatkan Recording Industry Association of America (RIAA) yang selanjutnya dibawa ke dewan senat.
Di sisi lain, Gore mendapat kritik dari berbagai media rok. Dalam catatan kongres Senat 19 September 1985, selain media, beberapa musisi--disebut juga sebagai Unholy Trinity--turut mempertanyakan sikap Gore: apakah tindakan ini lahir atas keprihatinan kalangan ibu-ibu atau sekadar agenda penyensoran kebebasan berekspresi?
Baca Juga: Karut Marut Hubungan John Lennon dengan Ayahnya Bernama Freddie
PMRC menjawab, bahwa tujuan utama mereka adalah "untuk mendidik dan memberi tahu orang tua tentang tren yang mengkhawatirkan ini [budaya rok dengan lirik tak senonoh] serta meminta industri untuk menahan diri". Tanpa bermaksud sebagai penyensoran, mereka mengajukan sistem label rating.
Mereka juga mengusulkan agar perusahaan rekaman menyertakan lembar lirik pada rilisan fisik yang terbit.
Namun usulan itu membuat dilema, Avery Anderson dalam Parental Advisory: Tipper Gore and the PMRC (jurnal Newcomb Scholars Vol. 5 No. 1 tahun 2020), menulis bahwa sepanjang abad ke-20 definisi kecabulan berkali-kali direvisi oleh Mahkamah Agung. Akibatnya ada banyak pemilihan makna pada konteks cabul di sejumlah negara bagian.
"PMRC berencana untuk mengeksploitasi ambiguitas ini, menargetkan pada penegakan hukum mengenai kecabulan yang lebih ketat untuk menangani pornografi rok secara langsung," tulis Anderson dari Tulane University.
Unholy Trinity terus berupaya menolak pelabelan itu. Mereka beranggapan bahwa salah tafsir mengenai label ini juga mengundang tafsiran lainnya bagi makna lagu yang sebenarnya tak berbahaya.
Contohnya, Rocky Mountain High karya John Denver yang sebenarnya dianggap tak berbahaya justru dilarang diputar oleh stasiun radio. Pelarangan lagu itu akibat liriknya disalahartikan oleh pendengar.
"[Pelabelan pada Rocky Mountain High] jelas dilakukan oleh orang-orang yang belum pernah melihat atau pernah ke Pegunungan Rocky dan juga tidak pernah mengalami kegembiraan, merayakan kehidupan, atau bersukaria dalam menjalankan hidup yang dirasakan seseorang saat ia mengamati sesuatu menakjubkan seperti hujan meteor di saat langit bersih di sana [...]" ungkap Denver dalam kongres.
"Jelas, [ini adalah], fenomena salah tafsir yang jelas. Tuan Ketua [kongres], apa jaminan yang saya miliki bahwa setiap panelis nasional yang meninjau musik karangan saya akan dinilai baik?"
Melansir dari BBC, Philip Bailey dari Earth Wind and Fire menganggap label itu seperti buah terlarang, "jika hal ini tidak, ya tidak ... tetapi itulah yang justru mereka ingin lihat." Maka label bimbingan orang tua justru lebih menggoda.
Baca Juga: Ilusi Optik: Mengapa Bulan di Dekat Ufuk Terlihat Lebih Besar?
Gore yang didukung oleh golongan kristiani relijius juga dikritik dan dipertanyakan tentang ideologi dalam pelabelan yang dilakukan PMRC. Sangat lantang buktinya karena Gore sendiri lebih mengkritik band-band Slayer dan Venom yang lagunya mengandung penolakan ajaran Judeo-Kristen.
Ia membantah hubungan ideologis itu dan menegaskan bahwa PMRC selain sekuler, juga menolak penyensoran. Gore menyebut bahwa PMRC berperan untuk memberikan kesadaran agar konsumen dapat memilih dengan memasukkan label peringatan.
"Kami hanya mengimbau supaya konsumen diperingatkan lewat label yang dan/atau lirik yang disertakan pada kemasan rilisan musik fisik. Kritikus [gagasan ini] menggunakan dalih sensor untuk menghindari masalah utamanya, yakni kurangnya tanggung jawab perusahaan," tulisnya dalam buku.
Namun ketika pelabelan kemudian berlaku, Anderson dalam artikel jurnalnya menyebut, masyarakat justru menganggapnya sebagai sensor tak langsung.
Baca Juga: Riset: Pandemi COVID-19 Memang Membuat Langit Jadi Lebih Bersih
Berbagai otoritas lokal di Amerika Serikat mulai menggunakan sistem label "Parental Advisory" yang justru menjadi pedoman menyensor. Beberapa ritel seperti Wal-Mart pun sempat menolak menjual rilis fisik dengan label itu, dan ada pula yang menolak menjual kaset berlabel kepada anak-anak.
"Sementara PMRC tidak pernah menganjurkan penyensoran eksplisit, label "Parental Advisory" sekarang sesuai dengan kecabulan di benak rakyat Amerika, mencontohkan kritik gender yang terlalu sering ditujukan pada pemimpin perempuan," tulis Anderson.
"Meskipun Gore mendapatkan dukungan yang sungguh-sungguh dari orang tua yang memiliki kepedulian yang sama, media mengecam perjuangannya, menggambarkan usahanya sebagai delusi paranoid dari seorang ibu rumah tangga tradisional."
Source | : | berbagai sumber,ResearchGate,Rolling Stone,Newsweek,BBC,AP |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR