Setelahnya, para saudagar Arab mengapalkannya ke Teluk Persia dan Laut Merah, mengusungnya dalam karavan-karavan menuju Jazirah dan Alexandria, menyeberangi perairan Mediterania, hingga akhirnya sampai di meja-meja para bangsawan Eropa. Di Eropa harga pala bisa melonjak 60.000 kali lipat dari harga tempat ia dipanen. Sebuah catatan Jerman dari abad ke-14 menyebutkan, harga 0,5 kilogram pala setara dengan "seven fat oxen" atau tujuh lembu jantan gemuk!
Pala dicari karena mitosnya sebagai obat sekaligus bahan ramuan vitalitas. Tanpa buah pala, kaum bangsawan dan borjuis Eropa hanya seperti menyantap bangkai dan makanan basi.
Ketika Kekaisaran Bizantium runtuh, pala raib dari peredaran di Eropa karena para pedagang sulit untuk melewati Alexandria. Kesultanan Usmani menutup gerbang selatan Eropa tersebut. Para pelaut Eropa dan kongsi-kongsi dagang mereka akhirnya mulai mencari tanah asal pala dan menemukannya di pulau-pulau Kepulauan Banda.
Di awal abad ke-17 Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang Belanda, tiba di Kepulauan Banda dan mulai menguasai satu per satu pulau utamanya. VOC berhasil menguasai Banda dengan melakukan genosida terhadap penduduk asli Banda. Jumlah penduduk asli Banda yang tadinya ada 15.000 jiwa menjadi tersisa 600 orang saja. Bahkan, banyak penduduk asli yang tersisa memilih untuk hengkang dari Banda. Untuk menggarap perkebunan pala di Banda, VOC mengimpor buruh kebun dari daerah-daerah lain di Nusantara.
Baca Juga: Cengkih Ternate, Keuntungan yang Menggiurkan Para Penjelajah Samudra
Bersamaan dengan kekuasan VOC di pulau-pulau besar Banda, Inggris datang untuk mendirikan koloni di pulau-pulau terpencilnya, yaitu Pulau Run dan Ay, pada tahun 1616. Mengetahui hal tersebut, VOC merasa terancam dan menganggap Inggris berupaya untuk memonopoli perdagangan pala serta mengusir VOC.
Belanda dan Inggris kemudian terlibat dalam pertempuran selama 50 tahun karena Belanda ingin sepenuhnya menguasai Kepulauan Banda, tapi masih ada Inggris di Pulau Run. Sejak tahun 1621, Belanda telah mencengkeram 10 dari 11 pulau di Banda, kecuali Pulau Run.
Dan akhirnya, demi mendapatkan Pulau Run yang hanya seluas 6 kilometer persegi atau 600 hektare itu, Belanda memberikan Niew Amsterdam, daerah jajahannya di benua Amerika, kepada Inggris. Meski luas Niew Amsterdam 18 kali lipat dari Run, kesepakatan itu sangat menguntungkan Belanda. Penguasaan atas Run membuat Belanda akhirnya dapat menguasai seluruh Kepulauan Banda, satu-satunya kawasan penghasil pala di dunia kala itu.
Baca Juga: Pala dan Cengkih, Rempah Nusantara yang Menjadi Primadona di Maluku
Namun perbandingan Run dan Niew Amsterdam itu hanya berlaku untuk dulu.
Kala itu, hamparan tanah rawa di Niew Amsterdam memang tak menjanjikan apa-apa, tapi kini tempat itu berkembang menjadi Manhattan. Daerah yang dulunya hanya merupakan pos dagang bulu binatang itu kini menjelma menjadi salah satu kota paling maju di dunia. Pulau itu adalah pusat ekonomi global yang berada di jantung New York City, megapolitan paling masyhur di Amerika Serikat.
Saat Manhattan menjadi kota penting dunia yang ditaburi pencakar langit, butik, kampus, serta restoran dan bar, Run hanya berisi segelintir sepeda motor dan dua sekolah setingkat SMP. Saat Manhattan menjadi tanah harapan bagi jutaan imigran, Run tak lebih dari noktah kecil di dunia tanpa jaringan internet dan sebagian masyarakatnya bercita-cita melihat Jakarta.
Baca Juga: Merapah Rempah: Mengungkap Narasi Asal-Usul Kesejatian Indonesia
Run begitu tenggelam pamornya sampai-sampai The Times Atlas of the World lupa menerangkan keberadaannya. Padahal dahulu, pulau ini digambar ketika peta bumi belum utuh.
Run seolah belum beranjak jauh dari abad ke-17. Sejak kemunduran perdagangan pala berikut anjloknya harga pada abad ke-18, pulau itu seperti dilupakan. Nasibnya kini masih terpencil seperti lokasinya.
Secara administratif, seperti dilansir Kompas.id, Run berstatus desa di Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Jaraknya lebih kurang 114 mil laut (211 kilometer) dari Ambon, ibu kota Provinsi Maluku. Dari Ambon, perjalanan ke Run harus melalui Pulau Naira, ibu kota Kecamatan Banda, yang berjarak sekitar 17 mil laut (31 kilometer) dari Run.
Baca Juga: Temuan Peti Harta Karun Kapal Rempah VOC yang Berlayar ke Batavia 1740
Kondisi Run sangat kontras dengan Manhattan. Jika di Manhattan hiruk-pikuk lalu lintas tak pernah putus, di Run malah tak ada satu mobil pun. Jaringan jalan di pulau itu hanya berupa lapisan semen selebar 2 meter. Kepala Desa Run Bahasa Lakapota mengatakan, cuma ada delapan sepeda motor di pulau itu. Ia pun sampai hafal satu per satu nama pemiliknya.
Salah satu pemilik rumah di dekat dermaga kecil di bibir pantai Pulau Run menjadikan rumahnya sebagai guest house atau tempat penginapan bagi para pelancong. Di depan rumah itu ada papan nama bertuliskan ”Manhattan 2 Guesthouse”. Ah ya, inilah pulau di tengah Laut Banda yang dulunya setara dengan Manhattan itu.
Source | : | National Geographic Indonesia,kompas.id |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR