Nationalgeographic.co.id—Hari ini tepat setahun sejak kasus COVID-19 pertama kali diumumukan ada di Indonesia. Setahun lalu, 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo didampingi oleh Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengumumkan dua kasus pertama virus corona di Indonesia.
Kini setelah setahun berselang, jumlah kasus COVID-19 Indonesia setidaknya telah menembus angka 1.341.314 orang. Sebanyak 1.151.915 orang di antaranya sembuh, 36.325 orang di antaranya meninggal, dan 153.074 lainnya merupakan kasus yang masih aktif.
Dari puluhan ribu orang yang meninggal itu, menurut data Lapor COVID-19, lebih dari 826 orang di antaranya merupakan tenaga kesehatan. Dengan angka ini, Indonesia mencetak rekor sebagai salah satu negara di dunia dengan jumlah korban tenaga kesehatan terbanyak akibat COVID-19.
Hal yang mengkhawatirkan lainnya, grafik jumlah kasus COVID-19 di Indonesia tercatat masih menanjak di saat grafik jumlah kasus COVID-19 di dunia telah mulai melandai. Penerapan strategi tes dan pelacakan kasus COVID-19 di Indonesia dinilai masih sangat lemah lemah.
Baca Juga: Riset: Virus Corona Lebih Banyak Menular Lewat Udara ketimbang Benda
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan Indonesia termasuk negara yang bermasalah dengan tes dan pelaporan sehingga situasi penularan di komunitas sulit diketahui dengan pasti. Untuk amannya, sebagaimana dikutip dari Kompas.id, dia menyarankan jangan dulu melonggarkan pembatasan, apalagi saat ini semakin banyak muncul varian baru SARS-CoV-2.
Banyak munculnya varian baru virus corona ini membuat para ahli Kesehatan dunia khawatir pandemi COVID-19 ini akan menjadi endemik. Survei yang dilakukan Nature pada Januari 2021 kepada lebih dari 100 ahli imunologi, peneliti penyakit menular, dan ahli virologi yang menangani virus korona, menyimpulkan bahwa eradikasi atau pemusnahan SARS-CoV-2 dari dunia manusia merupakan hal yang mustahil. Hampir 90 persen responden berpendapat virus corona ini akan menjadi endemik, yang berarti akan terus beredar di kantong-kantong populasi global selama bertahun-tahun yang akan datang.
”Memberantas virus ini sekarang dari dunia sama seperti mencoba merencanakan pembangunan jalur batu loncatan ke bulan. Itu tidak realistis,” kata Michael Osterholm, ahli epidemiologi di University of Minnesota di Minneapolis, seperti ditulis Nature.
Namun, kegagalan memusnahkan virus tidak berarti bahwa kematian, penyakit, atau isolasi sosial akan berlanjut pada skala sebesar saat ini. Masa depan akan sangat bergantung pada jenis kekebalan yang diperoleh orang-orang melalui infeksi atau vaksinasi dan bagaimana mutasi lebih lanjut virus ini.
Baca Juga: COVID-19 Hantam Sektor Pariwisata: Ini Pelajaran yang Bisa Kita Ambil
Sebelumnya, pada akhir tahun 2020, pakar kesehatan di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga pernah mengatakan bahwa pandemi Covid-19 ini bisa menjadi endemik. Pakar itu menyebut, meski pandemi virus corona yang kita hadapi saat ini sudah sangat parah, fenomena ini belum tentu yang terbesar.
Oleh sebab itu, WHO mengingatkan agar dunia bisa belajar untuk hidup berdampingan dengan COVID-19. "Virus (corona) ditakdirkan akan menjadi endemik. Bahkan saat vaksin mulai diluncurkan," kata Profesor David Heymann, ketua kelompok penasihat strategi dan teknis untuk bahaya infeksi di WHO, seperti dilansir The Guardian.
“Dunia mengharapkan kekebalan kelompok (herd immunity), yang entah bagaimana penularannya akan menurun jika cukup banyak orang yang kebal,” kata Heymann yang menambahkan bahwa sayangnya konsep kekebalan kelompok ini telah banyak disalahpahami.
Ia menjelaskan bahwa untuk mencapai kekebalan kelompok ini, suatu negara perlu memberikan vaksin kepada sebagian besar warganya. Terutama kepada kelompok rentan seperti lansia. Selain itu, pemerintah di negara tersebut juga tetap harus meningkatkan strategi pengecekan, pelacakan, dan pengisolasian untuk meminimalisasi jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 sampai kekebalan kelompok itu tercapai, entah itu selama lima tahun ke depan atau bahkan sepuluh tahun ke depan.
Baca Juga: Jumlah Orang Hikikomori Diprediksi Meningkat Pasca Pandemi COVID-19
Kepala ilmuwan WHO, Dr. Soumya Swaminathan, juga mengatakan bahwa sudah adanya vaksin COVID-19 saat ini tidak berarti tindakan protokol kesehatan seperti memakai masker dan menjaga jarak akan dapat dihentikan di masa depan. Ia menjelaskan peran dari vaksin adalah untuk mencegah timbulnya penyakit simptomatik, penyakit parah, dan kematian akibat virus corona. Tetapi apakah vaksin juga akan mengurangi jumlah infeksi atau mencegah penularan virus secara keseluruhan, itu belum bisa dijamin.
Banyak orang berpikir bahwa kekebalan kelompok ini bisa tercapai lebih cepat jika jumlah orang yang pernah terinfeksi COVID-19 di suatu wilayah atau negara sudah semakin banyak. Ya, untuk bisa mencapai hal itu bisa saja masyarakat Indonesia mulai mengabaikan protokol kesehatan dan pemerintah Indonesia terus mengendorkan tes dan pelacakan COVID-19.
Namun dengan cara seperti itu, berapa ribuan atau bahkan jutaan orang lainnya lagi yang akan meninggal di Indonesia sebelum akhirnya kita bisa mencapai kekebalan kelompok tersebut? Perlu dicatat, di level global, selama setahun ini virus corona telah menghilangkan lebih dari 2,5 juta nyawa manusia.
Baca Juga: Cara Cegah Infeksi Virus Nipah yang Berpotensi Jadi Pandemi Berikutnya
Osterholm mengatakan pada tahun-tahun ke depan negara-negara di dunia dapat mengurangi penularan dengan langkah-langkah pengendalian sampai cukup banyak orang telah divaksinasi, baik untuk mencapai kekebalan kelompok atau untuk secara drastis mengurangi keparahan infeksi. Itu secara signifikan akan mengurangi kematian dan penyakit parah, kata Osterholm.
Namun jika negara-negara di dunia meninggalkan strategi untuk mengurangi penyebaran dan membiarkan virus berkuasa tanpa terkendali maka “hari-hari tergelap pandemi masih di depan kita,” tegasnya.
Source | : | Nature,kompas.id,The Guardian |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR