Tetapi benarlah dugaan para dewan adat, kerajaan Luwu akhirnya takluk karena kalah senjata. Pada pertempuran di Kampung PunjalaE, Andi Tadda sendiri tertembak mati, sedangkan beberapa petinggi dewan ditawan oleh pasukan Belanda.
Andi Kambo sendiri menjadi tahanan dan mengalami didesak menandatangani Korte Verklaring oleh pihak Hindia Belanda. Tanda tangan perjanjian itu dibubuhkan pada 25 Februari 1907, dan diikuti oleh kawasan adat di bawah Luwu hingga 1909.
Meski Luwu sudah jatuh di Hindia Belanda, bukan berarti tak ada perlawanan. Muhammad Abduh dan Abdul Rauf Rachim dalam Seminar Sejarah Rakyat Sulawesi Selatan Menentang Penajajahan Asing, ada banyak perlawanan seperti yang dilakukan Makole Baebunta (salah satu petinggi dewan) dan Haji Hasan.
Perlawanan Haji Hasan cukup baik terdokumentasi oleh sejumlah sejarawan. Kemarahannya bermula dari kebijakan Hindia-Belanda yang menghapus monarki Luwu dengan pemerintahan modern yang berbuah pada sentimen agama.
Haji Hasan bersama Tojabi adalah dua ulama yang menolak pemberlakuan hukum belanda di Luwu. Pemerintah, pasca Korte Verklaring pun selalu menaruh curiga pada aktivitas mereka berdua.
Haji Hasan pun lantang mempropagandakan anti Belanda sebagai orang-orang kafir. Propaganda ini mendapat dukungan dari berbagai masyarakat--hingga ke Wajo dan Kolaka—yang dendam pada pemerintah. Perlawanannya mulai marak secara gerilya sejak 1907.
Berdasarkan informasi dari mata-mata Hindia Belanda, Haji Hasan membambangun pertahanan di daerah Wawo (sebelah utara Kota Kolaka). Ia juga mendapat dukungan dari kalangan masyarakat Kolaka.
Pada Agustus 1907, militer Hindia Belanda mengirim ekspedisi ke Wawo untuk menangkap Haji Hasan dan Tojabi. Tetapi saat mendekati daerah itu, pihak militer yang masih buta kawasan, disergap diseluruh penjuru, dan menewaskan beberapa pasukan oleh keris, pedang, dan tombak.
Ekspedisi di bulan-bulan berikutnya juga membuat pihak Belanda mengalami kegagalan. Meski sudah mengirim pasukan kurang lebih 300 orang untuk menangkap mereka, pasukan itu mendapat serangan balik dan menelan banyak korban jiwa.
Baca Juga: Penggundulan Hutan untuk Sawit di Indonesia Turun, tapi Banyak Catatan
"Sulitnya menangkap Haji Hasan memaksa pemerintah Hindia-Belanda meminta bantuan orang-orang Bugis," tulis Sirtimuryati.
"Keberadaan orang-orang Bugis di sekitar tempat tinggal Haji Hasan di Kampung Sulobongko, sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan bagi Haji Hasan kalau mereka itu prajurit sewaan pemerintah Belanda."
Melalui pasukan sewaan dan militer yang tergabung, pihak Hindia Belanda secara leluasa mengenali medan dan mengepung Wawo--daerah pertahanan baru pemberontak.
Dalam ekspedisi terakhir pada 14 April 1914, Haji Hasan menyadari posisi mereka, tapi tak sudi untuk menyerah. Akibatnya, Haji Hasan dan beberapa pengikutnya tertembak mati.
Sedangkan Tojabi, menurut Sanusi Mattata pada buku Luwu dalam Revolusi, ditangkap oleh para militer dan ditahan hingga akhir hayatnya.
Kuasa mempertahankan pengaruh Luwu di Sulawesi pun memudar. Hingga kini, Kerajaan Luwu hanya menjadi istana adat yang kerap dikunjungi wisatawan pecinta budaya.
Source | : | ResearchGate |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR