Konflik dengan Kerajaan Luwu dengan Hindia Belanda bermula dari keinginan pemerintah koloni memonopoli perdaganan hasil bumi Luwu. Keinginan pemerintah diupayakan dengan membujuk raja Luwu Andi Kambo, bekerjasama dengan pemerintah lewat rayuan modernitas dan etis mereka.
Kerajaan Luwu memilih membelot, hingga akhirnya pemerintah kolonial menyerangnya, dan memaksakan perjanjian pendek kepada raja Luwu pada 14 Juni 1905, yang isinya:
1. Luwu harus melepaskan Poso, dan sebagai imbalnnya Luwu diberi ganti rugi oleh Belanda.
2. Raja dan dewan adat Luwu harus menandatangi Korte Verklaring (perjanjian pendek ini).
3. Raja dan adat Luwu harus melepaskan hak-haknya atas bea cukai barang-barang keluar masuk di Luwu dan diserahkan ke Gubernur Jenderal.
4. Membaya denda f6.000 karna terlambat membalas permintaan gubernurmen.
Lagi-lagi, tuntutan ini tak dihiraukan hingga akhirnya Hindia Belanda yang sudah berpusat di Makassar dikirim ke Luwu, dengan bermukim sementara di Pelabuhan Palopo sejak 19 September 1905.
Keseriusan Belanda ini membuat para petinggi Luwu saling bertentangan karena takut kehancuran akan Luwu. Tetapi seorang tokoh dewan, Andi Tadda Opu Tosangaji tak gentar dan tak mau Hindia Belanda menguasai Luwu.
Dalam, Jurnal Walasuji (Vol 8 No. 1 tahun 2017), Sirtimuryati dari BPNB Sulawesi Selatan, bahwa Andi Tadda langsung menyiapkan pasukan untuk menghadapi KNIL yang bergerak menuju ibu kota.
Baca Juga: Menguak Kebudayaan Praaksara Sulawesi Selatan yang Terlupakan
Source | : | ResearchGate |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR