Nationalgeographic.co.id—Berkali-kali penemuan antariksa mengungkap adanya planet yang layak huni di jarak yang membutuhkan waktu tahun cahaya. Bahkan yang terdekat berada di zona layak huni bintang Proxima Centauri membutuhkan waktu 4,2 tahun cahaya dari Bumi.
Jarak itu hanya membuat kita baru bisa bermimpi untuk sampai di sana, karena jaraknya yang mungkin seumur hidup kita tak sampai.
Namun para ilmuwan selama bertahun-tahun mencoba untuk tetap mencari cara, supaya mengakalinya supaya perjalanan itu tak mustahil bagi kita. Salah satunya dalam studi terbaru yang dilakukan fisikawan Erik Lentz dari Göttingen University, Jerman.
Lentz menulis di jurnal Classical and Quantum Gravity (Vol. 38 No. 7 Maret 2021) memberikan gagasan hipotesa yang menjawab masalah itu. Studi ini juga merupakan salah satu jawaban yang layak daripada gagasan drive warp lainnya.
Bahkan temuan ini rencananya akan dipresentasikan secara streaming oleh Jim and Linda Lee Planetarium 18 Maret 2021 nanti di Youtube.
Masalah untuk gagasan ini, dalam fisika konvensional yang sesuai dengan teori relativitas Albert Einstein menunjukkan tak ada cara nyata untuk mencapai atau melampaui kecepatan cahaya, tulisnya. Padahal selama ini ukuran itu menjadi tolak ukur untuk perkiraan jarak perjalanan antariksa.
Baca Juga: Dahsyatnya Kecepatan Isap Lubang Hitam Terhadap Materi di Luar Angkasa
Namun, ada beberapa masalah dengan gagasan ini. Dalam fisika konvensional, sesuai dengan teori relativitas Albert Einstein, tidak ada cara nyata untuk mencapai atau melampaui kecepatan cahaya, yang merupakan sesuatu yang kita perlukan untuk setiap perjalanan yang diukur dalam tahun cahaya.
Apabila suatu materi memaksa melewati kecepatan cahaya dapat menimbulkan kesalahan fisika. Menurutnya, ruang dan waktu itu sendiri tak memiliki aturan seperti kecepatan cahaya, sebab jangkauan jauh semesta raya terbentang jauh lebih cepat dari yang bisa diharapkan untuk menyamainya.
Lentz mengusulkan cara, yakni melalui cara kerja yang ia sebut dengan kelas baru soliton berkecepatan tinggi (hyper-class soliton).
Yakni, sejenis gelombang dalam ilmu fisika dan matematika yang dapat mempertahankan bentuk dan energi sambil bergerak dengan kecepatan konstan. Dalam hal ini kecepatan tersebut ia mengacu pada cahaya.
Soliton adalah konsep yang digagas oleh John Scott Russel pada 1844 dalam makalahnya yang berjudul Repot on Waves. Penyebab soliton, menurut Russel disebabkan oleh pembatalan efek nonlinier dan dispersif pada suatu medium.
Berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Lentz, solusi soliton berkecepatan tinggi ini dapat eksis dalam teori relativitas Albert Einstein yang sudah umum. Menurutnya, soliton ini bersumber murni dari kerapatan energi positif, yang berarti tak perlu mengacuhkan sumber kerapatan energi negatif eksotis yang belum diverifikasi pasti.
Baca Juga: Alat Ini Dapat Mengenali Penyakit Jantung Kita dari Kejauhan
Jika memiliki energi yang cukup, soliton dapat berfungsi sebagai 'gelembung warp' yang mampu bergerak secara superluminal. Sehingga secara teoritis memungkinkan suatu objek melintasi ruang dan waktu dalam lindungan dari kekuatan pasang-surut ekstrim.
"Energi yang dibutuhkan untuk drive ini [supaya dapat] bepergian dengan kecepatan cahaya yang memuat pesawat ruang angkasa 100 meter dalam radius adalah pada urutan ratusan kali massa planet Jupiter," kata Lentz.
"Penghematan energi perlu drastis, sekitar 30 urutan besarnya dalam jangkauan reaktor fisi nuklir modern."
Meski demikan, ia mengakui bila studinya barulah sekedar hipotesa yang membutuhkan pengujian lebih lanjut dalam penghitungan fisika yang bisa diterapkan.
Masalah melintasi kecepatan cahaya juga diungkapkan oleh dua fisikawan Advanced Propulsion Laboratory. Mereka adalah Alexey Bobrick dan Gianni Martire dalam jurnal yang sama dan diterima kurator Januari lalu.
Mereka menggunakan konsep drive warp yang dianggap semestinya tak merusak hukum fisika. Dalam laporannya, drive warp secara teoritis dapat membengkok dan mengubah bentuk ruang dan waktu untuk membesarkan perbandingan antara keduanya.
Baca Juga: Daya Tarik dan Ras: Di Balik Keputusan Mengusap di Aplikasi Kencan
Pada kondisi tertentu, dapat membuat penjelajah ruang-waktu bergerak melintasi jarak yang lebih cepat daripada cahaya.
"Penelitian kami menunjukkan sebenarnya ada beberapa kelas lain dari drive warp dalam relativitas umum," kata Alexey Bobrick peneliti dari Lund University, lewat rilisnya.
Masalahnya, secara teori, konsepkonsep ini membutuhkan energi negatif dalam satu tempat yang tak mungkin sesuai dengan hukum fisika yang ada. Solusi mereka ialah membuang penggunaan energi negatif.
Menurut mereka, energi negatif sebenarnya mengatasi beberapa masalah relativitas umum untuk penjelajahan yang lebih cepat dari cahaya. Sehingga memungkinkan ruang mengembang dan menyusut daripada cahaya sambil menjaga materi tetap di dalamnya pada batas kecepatan yang universal.
Hampir serupa dengan hipotesa Lentz, Bobrick dan Martire lebih membutuhkan gravitasi daripada energi negatif. Gravitasi dapat mengangkat beban dari pembengkokan ruang-waktu sehingga perjalanan di luar dan dalam batas mediumnya akan berbeda secara signifikan.
Daripada memberikan solusi, mereka mengakui bahwa penelitian ini justru memberi lebih banyak masalah ilmiah. Terutama, mengenai energi negatif yang diperlukan hanya ada dalam ketidaktetapan (fluktuasi) pada skala kuantum.
Karena hampir kemiripan pada temuan itu, Erik Lentz, dilansir dari Science Alert, telah menghubungi mereka untuk berbagi pandangan dan data agar bisa dieksplorasi oleh ilmuwan di kemudian hari.
"Langkah selanjutnya adalah mencari cara untuk menurunkan jumlah energi astronomis yang dibutuhkan dalam kisaran teknologi saat ini, seperti pembangkit listrik fisi nuklir modern yang besar. Barulah kita dapat berbicara soal membuat prototipe pertamanya," pungkasnya.
Source | : | Science Alert,Rilis,Jurnal Ilmiah |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR