“Hal-hal menjadi lebih buruk karena perubahan iklim memperburuk faktor-faktor yang ada seperti kemiskinan, konflik, dan ketidakstabilan politik,” kata Brunt seperti dilansir Reuters. “Dampak yang bertambah membuat pemulihan menjadi lebih lama dan lebih sulit: orang-orang hampir tidak punya waktu untuk pulih dan mereka dihantam oleh bencana lain.”
Sekitar 60% dari pengungsi iklim dalam enam bulan terakhir itu berada di Asia, termasuk Indonesia, menurut laporan IFRC. Perusahaan konsultan McKinsey & Co mengatakan bahwa Asia “menonjol karena lebih terpapar risiko fisik iklim daripada bagian lain dunia tanpa adanya adaptasi dan mitigasi”.
Baca Juga: Kisah Para Pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika yang Bertahan di Trotoar Kebon Sirih
Statistik dari Internal Displacement Monitoring Center (IDMC) menunjukkan bahwa rata-rata 22,7 juta orang mengungsi setiap tahunnya. Angka tersebut termasuk perpindahan yang disebabkan oleh fenomena geofisika seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi, tetapi sebagian besar tergeser oleh peristiwa terkait anomali cuaca akibat perubahan iklim.
Secara global, 17,2 juta orang mengungsi pada 2018 dan 24,9 juta pada 2019. Angka setahun pada 2020 belum tersedia, tetapi laporan tengah tahun IDMC menunjukkan ada 9,8 juta pengungsi karena bencana alam pada paruh pertama tahun lalu.
Lebih dari 1 miliar orang diperkirakan akan menghadapi migrasi paksa pada tahun 2050 karena konflik dan faktor ekologi, sebuah laporan dari Institute for Economics and Peace ditemukan tahun lalu. Faktor ekologi ini juga terkait dengan perubahan iklim.
Di Indonesia sendiri, bencana iklim seperti banjir juga merupakan momok yang selalu menyebabkan banyak orang terpaksa harus mengungsi setiap tahunnya. Banjir awal tahun 2020 di ibu kota Jakarta misalnya, seperti diberitakan Kompas.id, telah menyebabkan setidaknya 31.232 orang terpaksa harus mengungsi.
Baca Juga: Banjir Jawa: Penurunan Tanah Jakarta, Pekalongan, Semarang Mengerikan
Angka ini berpotensi akan terus meningkat mengingat anomali cuaca di Indonesia, termasuk di Jakarta, tampak makin besar dan sering muncul. Selain itu, ketinggian permukaan tanah Jakarta yang semakin menurun juga membuat lebih banyak area di ibu kota jadi rawan banjir. Penurunan ketinggian tanah ini membuat semakin banyak area di Jakarta memiliki tinggi tanah yang kini berada di bawah permukaan sungai atau di bawah permukaan laut.
Heri Andreas, peneliti geodesi dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan kepada National Geographic Indonesia bahwa berdasarkan hasil penelitiannya, penurunan tanah di beberapa daerah di DKI Jakarta bisa mencapai 20 sentimeter per tahun. Ia menyebut penyebab utama penurunan tanah di DKI Jakarta adalah karena beban bangunan dan insfrastruktur serta eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Menurut hasil pemodelan Andreas, penurunan tanah di DKI Jakarta telah membuat dampak banjir di ibu kota itu jadi tiga kali lipat lebih parah. “Jadi tanpa ada penurunan tanah atau land subsidence, banjir Jakarta itu hanya 4.000-an hektare. Tapi sekarang itu bisa sampai 12.000-an hektare,” ungkapnya.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Source | : | Reuters,National Geographic Indonesia,kompas.id |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR