Nationalgeographic.co.id—Peter Brian Ramsay Carey merupakan salah satu sejarawan Inggris terkemuka. Pernah mengajar di University of Oxford sebagai Laithwaite Fellow untuk Sejarah Modern di Trinity College, Oxford, Inggris Raya.
Kini dia menjadi Adjunct Professor di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Dia telah mengabdikan sepanjang hayatnya untuk meneliti sosok Pangeran Dipanagara. Sebuah karya litografi abad ke-19, yang menggambarkan Sang Pangeran dan laskarnya memasuki perkemahan di Desa Metesih, telah ‘menjerumuskan’ Carey dalam pencarian tentang sosok sejati Sang Pangeran selama 40 tahun terakhir—yang tampaknya tak berkesudahan.
Buku karyanya tentang biografi Dipanagara berjudul The Power of Propechy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java terbit pertama kali pada 2007. Kemudian edisi dalam bahasa Indonesia menyusul pada 2012. Sebuah buku yang secara tak sengaja turut menyatukan kembali ‘tulang-tulang yang terpisah’ dari wangsa Dipanagaran tatkala peluncuran perdananya di bekas puing-puing kediaman Dipanagara, Tegalrejo, Yogyakarta. Pada kesempatan itu seorang perwakilan dari Sultan mempersilakan wangsa Dipanagaran untuk mendapatkan serat kekancingan (surat yang menerangkan bahwa seseorang merupakan bagian dari keluarga keraton) dengan mendaftarkan diri mereka ke Keraton Yogyakarta.
Penyelisikannya lewat berbagai sumber naskah semasa telah menghadirkan kembali sosok Dipanagara yang dirindukan—sebagai manusia seutuhnya. Sang pangeran itu muncul tak hanya sebagai wayang dalam panggung Perang Jawa, tetapi juga manusia yang berbudaya Jawa pra-modern dan beragama Islam-Jawa.
Dalam buku karyanya, Carey juga telah mengungkapkan kegemaran Dipanagara. Sang Pangeran itu gemar berkebun, memilihara burung perkutut dan kakatua, bermain catur, menunggang kuda, makan sirih, dan hal yang berbahaya dan mujarab: kegemarannya mengutuk orang. Dia juga suka menyesap anggur putih asal Constantia, Afrika Selatan.
Menurut Dipanagara, seperti yang diungkapkan Carey, meminum anggur putih tidak bertentangan dengan Al-Quran lantaran sebagai penawar mabuk usai menyesap anggur merah. Tampaknya Sang Pangeran punya tafsir sendiri tentang larangan Nabi.
Sisi manusiawi selalu menarik untuk dikisahkan, begitu juga kehidupan seksual Sang Pangeran. Meskipun tampang Dipanagara biasa-biasa saja, demikian menurut Carey, sepertinya dia punya pamor yang memesona bagi kaum hawa.
Baca Juga: Sepuluh Fakta Tersembunyi Di Balik Ganasnya Kecamuk Perang Jawa
Sebelum Perang Jawa pecah, setidaknya dia mengawini empat perempuan. Kemudian, tiga perempuan ketika suasan perang, salah satunya yang bernama Raden Ayu Retnaningsih setia mendampingi Dipanagara selama di pengasingan. Kemudian, selama di pengasingannya di Makassar, tampaknya dia juga menikahi beberapa perempuan Jawa yang manjadi pengiringnya. Sejauh dalam catatan Carey, Dipanagara memiliki 17 anak, namun 9 dari mereka tidak diketahui siapa ibu yang melahirkan.
Setidaknya Sang Pangeran itu pernah mengaku berselingkuh sekali dengan seorang perempuan Cina dalam masa kecamuk Perang Jawa sekitar akhir 1826. Dia juga pernah merasa kecewa karena lamarannya ditolak oleh keluarga seorang gadis di Manado tatkala pengasingannya di Fort Amsterdam selama 1830-1833.
Ketika di Manado itulah Sang Pangeran menggubah karya sastra berupa tembang macapat yang kelak dikenal sebagai Babad Dipanagara—entah siapa yang awalnya memberi judul demikian. Dia menyelesaikan karyanya yang setebal seribu halaman lebih itu dalam sembilan bulan.
“Dia seperti membuat bahtera Nabi Nuh,” ungkap Carey tentang karya sastra gubahan Sang Pangeran yang telah diakui oleh UNESCO sebagai Memory of the World pada Juni 2013. Babad ini ditulis oleh Dipanagara untuk menyiapkan pengetahuan dan pendidikan bagi anak-anaknya dan generasi selanjutnya. “Buku ini adalah autobiografi pertama dalam sastra Nusantara.”
“Kahlil Gibran pernah berkata,” ujar Carey, “Setelah makan dan minum, kebutuhan kita selanjutnya adalah bertutur dengan cerita.”
Pendapat ini ada benarnya. Menurut Carey, bangsa Indonesia mempunyai banyak kisah seperti Nagarakertagama gubahan Prapanca yang berkisah tentang masa jaya Majapahit, asal-usul orang Bugis dalam I La Galigo, dan autobiografi dalam Babad Dipanagara. “Kalau kita lupa akan sejarah,” ujarnya, “kita adalah betul-betul makhluk yang tidak akan berdaya.”
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Artikel ini pernah terbit pada 22 Juli 2014 dengan judul Menyaksikan Dipanagara Sebagai Manusia.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR