Nationalgeographic.co.id—“Semua kembali ke usaha kita dalam hidup, Tuhan yang Esalah penentunya,” ujar Parto seusai menunaikan salat Ashar di salah satu kamar keramat dalam Klenteng Ancol.
Parto, lelaki 30-an tahun yang mengenakan busana kaus biru laut berkerah putih, merupakan juru kunci kamar keramat Embah Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng. Banyak peziarah Klenteng Ancol yang menghantar doa untuk kedua tokoh tersebut, demikian kata Parto.
Di ruang ini, tepatnya di belakang bangunan utama, Parto menunjukkan kepada saya sebuah tongkat legendaris yang konon pernah dimiliki oleh Embah Areli. Sampai saat ini, ungkapnya, tongkat tersebut masih digunakan untuk memprediksi rejeki atau peruntungan hidup.
Klenteng Ancol yang dikenal dengan Vihara Bahtera Bhakti menyimpan banyak kisah di balik dinding bangunan yang tidak memiliki langgam, dan ciri atap khas klenteng-klenteng di Jawa.
Tempat ibadah ini dikenal juga dengan nama Klenteng Da Bo Gong atau Tua Pe Kong (bahasa Hokkian), nama lain dari Dewa Bumi Tu Di Gong, atau disebut juga Dewa Dewa Kesejahteraan dan Kebajikan (Fu De Zheng Shen). Beberapa bagiannya menjadi tempat pemujaan agama Buddha, Konghucu dan Tao.
Baca Juga: Pengamatan Transit Venus dari Gang Torong Batavia Abad Ke-18
Klenteng buka sejak pukul 06.00 sampai 18.00. “Jika hari sembahyang buka hingga larut malam,” ujar Parto, “seperti malam Imlek, klenteng akan buka sampai subuh.”
Sebelum menuju ruang utama, saya melewati koridor beratap. Di kanan kiri koridor, saya menyaksikan kolam dan sungai yang telah mati akibat penutupan aliran oleh pengembang fasilitas rekreasi di Ancol. Sungai yang dahulu dipercaya tempat berlabuhnya kapal empunya Klenteng Ancol—Sampo Seoi Soe—kini telah menjadi kolam. Sebuah pompa air dipasang di ujung tembok kolam untuk mengantisipasi meluapnya air saat kolam tak mampu menampung banyaknya air hujan.
Alkisah menurut tutur turun-temurun, seorang juru masak kapal Panglima Cheng Ho yang merapat ke daratan Kota Paris (nama legenda tepian sungai Ancol) itu bernama Sampo Soei Soe, seorang muslim.
Saya menyaksikan kolam dan sungai yang telah mati akibat penutupan aliran oleh pengembang fasilitas rekreasi di Ancol. Sungai yang dahulu dipercaya tempat berlabuhnya kapal empunya Klenteng Ancol—Sampo Seoi Soe—kini telah menjadi kolam.
Konon, kapal kecilnya ditambatkan pada sebuah pancang kayu yang sekarang dipermanenkan dengan beton berbentuk kotak yang terletak di samping pagoda kecil tempat pembakar uang kertas.
Sampo Soei Soe pun bertemu seorang wanita bernama Siti Wati, putri seorang pendakwah Islam, yang saat ini namanya dikenal sebagai Embah Areli Dato Kembang dan istrinya yang bernama Ibu Enneng.
Rupanya, Sampo Soei Soe diterima dengan terbuka oleh keluarga Siti Wati. Mereka pun menikah dan bertukar adat istiadat kebiasaan, tak terasa akulturasi budaya terjadi. Suatu ketika datanglah orang-orang Tiongkok bermaksud menemukan Sampo Soei Soe. Namun, mereka mendapati kenyataan bahwa orang yang mereka cari telah tiada. Kemudian, mereka mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk mengenang Sampo Soei Soe. Tempat itu berkembang menjadi klenteng.
Menurut Salmon–Lombard dalam bukunya Klenteng-Klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Klenteng Ancol dibangun pada era yang sama dengan Klenteng Jin De Yuan atau yang dikenal dengan nama Klenteng Petak Sembilan, yaitu pada 1650.
Baca Juga: Sumbangan Sains dari Pelukis-pelukis Cina pada Zaman Kompeni
Klenteng ini mulai banyak dikunjungi umat sejak abad ke-17. Tak hanya umat Konghucu, Buddha, atau Tao, tetapi umat Islam pun datang untuk melakukan ziarah untuk mendoakan keempat orang muslim yang makamnya diyakini berada di dalam area klenteng tersebut.
Khusus untuk altar pemujaan Ibu Siti Wati dan Sampo Soei Soe, serta makam Embah Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng, umat tidak diperkenankan untuk membawa sajian yang berbahan dasar daging babi. Kemudian Aceng, salah seorang petugas klenteng, berkata kepada saya, “Umat Buddha dan Konghucu di sini sangat menghormati empat orang Muslim ini.”
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR