Cerita oleh Valentino Luis
Nationalgeographic.co.id—Dibarengi candaan berbahasa Inggris, ia mendekap satu demi satu anggota keluarga berambut pirang di pintu depan rumah makannya. Setelah mengantar mereka masuk ke dalam mobil, ia pun berbalik.
“Eh, apa kabar, Dik,” katanya menyapa saya. “Aduh, maaf tadi tidak lihat karena kedatangan teman asal Belanda. Tahun lalu mereka makan di sini, tahun ini datang lagi dan langsung kemari begitu selesai check-in hotel,” urainya dengan sumringah. Senyum ramah bergayut di wajahnya.
Ni Nyoman Supadmi, pemilik Warung Eny’s. Di Jalan Petitenget, Seminyak, yang sesak oleh hotel dan restoran mahal, hanya inilah satu-satunya rumah makan yang menghidangkan makanan Bali. “Yang pemiliknya juga orang Bali,” sambungnya dengan terbahak. “Semua restoran di ruas jalan Petitenget empunya bule. Di depan ini sebentar lagi buka restoran milik orang Jepang, di sisi utaranya milik orang Perancis, di sebelah saya punyanya Australia.”
Warung Eny’s tampil tak sebenderang restoran lain di Petitenget, meski letaknya di tikungan jalan nan sibuk. Alih-alih punya sofa atau dekorasi modern, tembok putihnya sudah kusam, ruangan dalam beraroma bumbu berpadu dupa sembayang. Hiasan pelepah nyiur direntangkan saling-silang di langit-langit. Pada dinding sebelah selatan ratusan foto bidikan tahun sembilan puluhan ditempeli berjejal tanpa kaca. Nyaris seluruhnya wajah-wajah tamu asing.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR