Ia kemudian menyodorkan kartu menu. Saya melihat daftar serba masakan Bali. Ada babi guling, bebek betutu, lawar, tum, sate lilit.
“Warung ini berdiri tahun 1993, seumuran dengan Ni Luh Susaniasih, anak pertama saya,” ia mulai berkisah sembari tangannya lihai memilah-milah bawang, kencur, jahe, lengkuas, kunyit, kemiri yang dihaluskan bersamaan sebagai bumbu dasar sate lilit, hidangan yang saya pinta.
“Semua restoran di ruas jalan Petitenget empunya bule. Di depan ini sebentar lagi buka restoran milik orang Jepang, di sisi utaranya milik orang Perancis, di sebelah saya punyanya Australia.”
“Cuma kami yang jual makanan saat itu. Di timur dan selatan warung masih sawah semata. Sunyi. Kendaraan bermotor sulit. Listrik juga belum, saya pakai petromak. Tapi jualan sampai jam sebelas malam. Selesai jualan, langsung ke pasar Badung untuk belanja lagi.”
Kata-katanya terhenti.
Ia seakan menyadari perubahan lingkungan yang terjadi, memandang sepintas ke luar, kemudian sambungya lagi, “Sekarang sawah-sawah sudah hilang, tiap menit kendaraan lalu lalang. Aneh, dulu jalan hanya satu arah namun adem dan gampang kesana-kemari. Sekarang banyak jalan, tapi di gang-gang pun bisa macet. Saya sudah sulit ke pasar. Jadilah daging dan sayuran diantar kesini. Sebenarnya lebih suka belanja di pasar. Tapi ya, sudah, tidak gampang lagi.”
Ni Nyoman Supadmi punya empat juru masak. Semua pandai meramu masakan Bali, yang dipelajari dari rumah masing-masing. Orang Bali manapun, kata Ni Nyoman, musti tahu memasak masakan daerahnya. Lekatnya kehidupan komunal yang melibatkan seluruh anggota keluarga dalam kegiatan tiap banjar (dusun) memberi andil keberlanjutannya unsur-unsur pembentuk budaya Bali, termasuk perihal makanan.
“Karena orang Bali, meski kerja dan tinggal di kota, tetap harus sembayang di banjar kampung asalnya, punya tanggung jawab disana. Jadi, selama orang Bali masih ada, maka lawar, sate lilit, tum, betutu, dan babi guling pun akan tetap ada,” ujar Ni Nyoman dengan keyakinan penuh.
Dua Pendaki Wanita Meninggal dalam Tragedi Puncak Cartenz Papua, Ini Profil dan Kronologinya
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR