Nationalgeographic.co.id—Rumah Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, Menteri Luar Negeri pertama Republik Indonesia, yang berada di Cikini kini sedang dijual. Celakanya, Pemerintah Republik Indonesia belum menetapkan bangunan ini menjadi cagar budaya.
Namun, rumah yang kini sedang dijual oleh pihak keluarganya itu sebenarnya telah memenuhi syarat untuk jadi bangunan cagar budaya, kata Bambang Eryudhawan. Yudha, sapaan akrabnya, merupakan lulusan Institut Teknologi Bandung, anggota Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, sekaligus kurator dari Yayasan Bung Karno. Salah satu syarat bangunan untuk bisa menjadi cagar budaya adalah berusia minimal 50 tahun.
Yudha mengatakan rumah Achmad Soebardjo yang berlokasi di Jalan Cikini Raya No. 80, Jakarta Pusat, itu telah didirikan sejak zaman Hindia Belanda. "Pak Soebardjo tinggal di situ sejak zaman perang, sebelum Jepang datang dia sudah tinggal di situ," tutur Yudha kepada National Geographic Indonesia pada Rabu, 14 April 2021.
Jumlah rumah yang bergaya arsitektur Hindia Belanda di Jakarta, seperti rumah Achmad Soebardjo, kini sudah semakin sedikit. "Ini kan rumah-rumah yang muncul di akhir abad-19 atau awal abad-20. Jadi masih punya teras depan yang cukup luas. Sekarang rumah Pak Soebardjo terasnya kan ditutup. Aslinya kan itu terbuka," papar Yudha.
"Terus juga ceiling-nya (atapnya) tinggi, plafonnya pakai kayu. Lantainya masih pakai ubin yang bermotif, ubin PC. Ya pada dasarnya ini rumah-rumah akhir abad-19 [atau] awal abad-20 yang makin hari buat Jakarta makin langka."
Seorang pemerhati gaya arsitektur Hindia Belanda yang tinggal di Delft, Olivier Johannes Raap, mengatakan bahwa bagian tertua rumah ini bergaya sekitar 1860, yang kemudian direnovasi berkali kali. "Gaya arsitektur Neo-Klasik," ujarnya. Sayangnya, "beranda asli ditutup dengan dinding baru. Jadi, beranda jadi ruangan dalam."
Arsitektur bergaya Neo-Klasik menjamur di Batavia pada awal abad ke-19. Sederet bangunan yang menggunakan gaya arsitektur ini adalah Societeit Harmoni, yang diresmikan Raffles pada 1816, namun dibongkar pada 1985. Gedung Kesenian Jakarta, yang dibangun pada 1821, juga Gedung Departemen Keuangan yang dibangun pada 1809-1828.
Dijuluki gaya Neo-Klasik karena mengadopsi gaya arsitektur Klasik yang pernah berkembang di Yunani pada abad-abad terakhir sebelum Masehi. Namun, semangat Neo-Klasik berbeda dengan semangat Renaisans—yang menghayati cita-cita Klasik. Gaya Neo-Klasik sejatinya lebih menekankan pada unsur seni arsitektur Klasik seperti bentuk dasar sederhana, tegas, harmoni, dan elegan. Atas dasar itulah, Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta, mengungkapkannya dengan istilah "klasisisme" atau "neo-klasik".
Baca Juga: Rumah Achmad Soebardjo, Penyusun Naskah Teks Proklamasi, Kini Dijual
Secara arsitektur, rumah Achmad Soebardjo menyimpan keindahan masa lampau yang tak bisa ditangkap hanya dari lirikan mata sekejap. "Keindahannya tidak datang dari apa yang sekadar dilihat ya. Hari ini definisi keindahan juga relatif. "Kalau apakah arsitektur ini megah? Ya nggak juga. Ini rumah yang relatif nggak biasa karena ukurannya besar, tapi ya ini rumah tinggal (biasa)," ungkap Yudha yang merupakan arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung.
Rumah-rumah seperti rumah Achmad Soebardjo di zaman Hindia Belanda biasanya dibuat secara borongan dari template desain yang sama sehingga ada banyak rumah yang bentuknya mirip seperti ini.
"Rumah-rumah seperti ini biasanya nggak memakai arsitek. Langsung anemer (kontraktor), langsung bangun. Karena biasanya sudah ada gambar contekannya. Jadi ini dibangunnya sama anemer, kontraktor yang bisa mendesain. Tapi desainnya menggunakan template," ujar Yudha.
Kontraktor pada zaman Hindia Belanda biasanya adalah orang-orang Tionghoa. Namun ada juga sebagian kontraktor rumah pada masa itu yang merupakan warga keturunan Arab.
Baca Juga: Hajjah Rangkayo Rasuna Said, 'Singa Betina' yang Hidup di Tiga Masa
Seberapapun tua rumah dari zaman Hindia Belanda itu, Yudha menegaskan, syarat terpenting bahwa suatu bangunan bisa ditetapkan sebagai cagar budaya adalah adanya nilai-nilai besar sejarah yang terkandung di dalamnya. "Rumah Pak Soebardjo memenuhi syarat tersebut."
Yudha menekankan, rumah Achmad Soebardjo pernah menjadi kantor pertama Kementerian Luar Negeri Rapublik Indonesia. Selain itu, sosok Achmad Soebardjo adalah tokoh penting nasional. Ia adalah salah satu dari tiga pahlawan nasional yang menyusun naskah teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
"Ada tiga orang tokoh utama yang menjadi aktor utama dari proses proklamasi itu, salah satunya Achmad Soebardjo. Jadi dari sisi sejarah Indonesia rumah itu adalah salah satu jejak titik pinting dalam narasi kemerdekaan indonesia," tegas Yudha.
Rumah-rumah dengan pengaruh klasisime kerap dijuluki sebagai Indische Woonhuis atau Rumah Hindia. Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta, mengungkapkan rumah-rumah bergaya ini merupakan hasil adaptasi arsitektur klasisisme dengan tuntutan iklim tropis. "Serambi luas dan pemakaian pintu serta jendela krepyak menampakkan pengaruh setempat."
Heuken menambahkan, rumah hindia memiliki beberapa denah bangunan. Bangunan induk, tempat pemilik tinggal yang berada di tengah. Bangunan samping, tempat kamar tamu, kamar mandi, dapur, gudang, kamar babu, dan kandang kuda. "Besarnya bangunan induk menunjukkan 'kelas' pemiliknya," ungkap Heuken, "sedangkan bangunan samping bersifat fungsional semata."
Arsitek Johannes Widodo telah mengungkapkan riwayat kemajemukan kita: perpaduan dua kebudayaan atau lebih yang menginspirasi berbagai bidang. Gagasan ini dimuat dalam tulisannya bertajuk "Arsitektur Indonesia Modern" yang menjadi bagian buku Masa Lalu dalam Masa Kini, yang disunting Peter J.M. Nas. "Sebuah perpaduan antara budaya Belanda dan budaya setempat yang terungkap dalam gaya hidup, model busana, makanan, seni, kerajinan tangan, dan arsitektur."
Kediaman Achmad Soebardjo adalah salah satu bagian rekaman perjalanan arsitektur Indonesia. Akankah ia selamat atau binasa atas nama zaman?
Baca Juga: Di Rumah Achmad Soebardjo, Akhirnya Tan Malaka dan Soekarno Berjumpa
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR