Secara arsitektur, rumah Achmad Soebardjo menyimpan keindahan masa lampau yang tak bisa ditangkap hanya dari lirikan mata sekejap. "Keindahannya tidak datang dari apa yang sekadar dilihat ya. Hari ini definisi keindahan juga relatif. "Kalau apakah arsitektur ini megah? Ya nggak juga. Ini rumah yang relatif nggak biasa karena ukurannya besar, tapi ya ini rumah tinggal (biasa)," ungkap Yudha yang merupakan arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung.
Rumah-rumah seperti rumah Achmad Soebardjo di zaman Hindia Belanda biasanya dibuat secara borongan dari template desain yang sama sehingga ada banyak rumah yang bentuknya mirip seperti ini.
"Rumah-rumah seperti ini biasanya nggak memakai arsitek. Langsung anemer (kontraktor), langsung bangun. Karena biasanya sudah ada gambar contekannya. Jadi ini dibangunnya sama anemer, kontraktor yang bisa mendesain. Tapi desainnya menggunakan template," ujar Yudha.
Kontraktor pada zaman Hindia Belanda biasanya adalah orang-orang Tionghoa. Namun ada juga sebagian kontraktor rumah pada masa itu yang merupakan warga keturunan Arab.
Baca Juga: Hajjah Rangkayo Rasuna Said, 'Singa Betina' yang Hidup di Tiga Masa
Seberapapun tua rumah dari zaman Hindia Belanda itu, Yudha menegaskan, syarat terpenting bahwa suatu bangunan bisa ditetapkan sebagai cagar budaya adalah adanya nilai-nilai besar sejarah yang terkandung di dalamnya. "Rumah Pak Soebardjo memenuhi syarat tersebut."
Yudha menekankan, rumah Achmad Soebardjo pernah menjadi kantor pertama Kementerian Luar Negeri Rapublik Indonesia. Selain itu, sosok Achmad Soebardjo adalah tokoh penting nasional. Ia adalah salah satu dari tiga pahlawan nasional yang menyusun naskah teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
"Ada tiga orang tokoh utama yang menjadi aktor utama dari proses proklamasi itu, salah satunya Achmad Soebardjo. Jadi dari sisi sejarah Indonesia rumah itu adalah salah satu jejak titik pinting dalam narasi kemerdekaan indonesia," tegas Yudha.
Rumah-rumah dengan pengaruh klasisime kerap dijuluki sebagai Indische Woonhuis atau Rumah Hindia. Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta, mengungkapkan rumah-rumah bergaya ini merupakan hasil adaptasi arsitektur klasisisme dengan tuntutan iklim tropis. "Serambi luas dan pemakaian pintu serta jendela krepyak menampakkan pengaruh setempat."
Heuken menambahkan, rumah hindia memiliki beberapa denah bangunan. Bangunan induk, tempat pemilik tinggal yang berada di tengah. Bangunan samping, tempat kamar tamu, kamar mandi, dapur, gudang, kamar babu, dan kandang kuda. "Besarnya bangunan induk menunjukkan 'kelas' pemiliknya," ungkap Heuken, "sedangkan bangunan samping bersifat fungsional semata."
Arsitek Johannes Widodo telah mengungkapkan riwayat kemajemukan kita: perpaduan dua kebudayaan atau lebih yang menginspirasi berbagai bidang. Gagasan ini dimuat dalam tulisannya bertajuk "Arsitektur Indonesia Modern" yang menjadi bagian buku Masa Lalu dalam Masa Kini, yang disunting Peter J.M. Nas. "Sebuah perpaduan antara budaya Belanda dan budaya setempat yang terungkap dalam gaya hidup, model busana, makanan, seni, kerajinan tangan, dan arsitektur."
Kediaman Achmad Soebardjo adalah salah satu bagian rekaman perjalanan arsitektur Indonesia. Akankah ia selamat atau binasa atas nama zaman?
Baca Juga: Di Rumah Achmad Soebardjo, Akhirnya Tan Malaka dan Soekarno Berjumpa
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR