Nationalgeographic.co.id—Lewat lukisan cadas di gua, kita dapat mengetahui manusia terdahulu beraktivitas. Seperti yang cadas babi tertua di dunia yang ditemukan awal tahun ini misalnya di Maros, Sulawesi Selatan, yang memberi gambaran kita bagaimana mereka berburu.
Meski demikian, temuan terbaru mengungkap kemungkinan besar cadas dilukis oleh manusia purba ketika berhalusinasi. Itu dikarenakan gua biasanya memiliki kadar oksigen yang sedikit untuk dihuni manusia hingga mempengaruhi kesadarannya.
Temuan ini dijabarkan oleh para peneliti dari Tel Aviv University dalam The Journal of Archaeology, Consciousness and Culture (31/03/2021). Dalam latar belakang penelitiannya, mereka heran karena lokasi cadas—khususnya di Spanyol dan Perancis—banyak ditemukan di kawasan yang susah dijangkau dan lewat lorong-lorong sempit.
Kondisi serupa juga dialami oleh Adhi Agus Oktaviana salah satu arkeolog yang menganalisa gambar cadas di Maros awal tahun ini. Pada National Geographic Indonesia (13/01/2021), ia mengungkapkan gambar cadas itu dikeliling tebing kapur terjal, dan tak pernah dikunjungi masyarakat sekitar situs.
Baca Juga: Lukisan Cadas 45.500 Tahun Asal Sulawesi Jadi Temuan Tertua di Dunia
Maka jawaban kemungkinan terbesar adalah: kadar oksigen yang mereka dapat rendah.
Pada bagian metodenya, mereka menjalankan simulasi komputer untuk beberapa model gua yang berbeda panjang lorongnya. Dalam model itu, gua dibuat memiliki area seperti aula besar yang biasanya lukisan cadas dibuat dan ditemukan.
Lalu dalam simulasinya mereka menganalisis perubahan oksigen apabila seseorang ada di bagian dalam gua yang berbeda dengan obor untuk menerangi ruang gelap itu.
Obor inilah yang menjadi salah satu faktor yang menguras oksigen dengan konsentrasinya yang menurun hingga tiga persen selama 15 menit.
Baca Juga: Filosofi Gudeg: Simbol Rindu dan Rekaman Perubahan Kota Yogyakarta
Sedangkan di ruang gua yang kecil atau dengan langit-langit rendah, konsentrasi oksigen bisa turun hingga 11%. Hal yang dapat terjadi pada rendahnya kadar oksigen menyebabkan hipoksia parah pada mereka.
Hipoksia adalah kondisi yang menyebabkan sakit kepala, sesak napas, kebingungan, dan kegelisahan. Selain itu juga dapat meningkatkan dopamin di otak yang bisa menyebabkan halusinasi, tulis Yafit Kedar dan tim.
Mereka mengungkap, bahwa tindakan ini disengaja dilakukan oleh mereka yang memiliki pemahaman sifat perubahan di ruangan bawah tanah yang rendah oksigen.
Jawaban masuk akal dari kebiasaan itu mungkin berhubungan dengan kepercayaan manusia purba yang menganggapnya sebagai jalan menuju 'dunia lain'.
Sisa itu masih relevan dengan banyak budaya yang masih mengadopsinya seperti kepercayaan komologi Maya dan Inca. Mereka meyakini gua adalah protal untuk menjalin kontak dengan leluhur dan dunia bawah.
Lebih dekat dengan lokasi peneliti, peradaban Timur Tengah di Mesopotamia juga mempercayai mitos bahwa jiwa yang mati akan turun ke Dunia Bawah lewat relung yang berada di tanah.
Para arkeolog lain ketika mengungkapkan cadas di Raja Ampat, Papua juga mengungkapkan bahwa lukisan itu ditujukan untuk aktivitas ritual tertentu. Lokasi itu pun tampak berada di tempat yang sukar dikunjungi.
Baca Juga: Menyingkap dan Memetakan Keunikan Gambar Cadas di Perairan Papua
"Beberapa peneliti telah menyarankan bahwa gua-gua yang berhiaskan gaya Paleolitik Atas digunakan sebagai ruang liminal dan portal ke dunia bawah," tulis Kedar dan tim. "Dengan alasan lebih lanjut bahwa memasuki gua-gua ini mungkin telah menyebabkan keadaan kesadaran yang berubah."
Jika kondisinya demikian, agar kesadaran tetap terjaga di tengah ruang gelap, mereka harus merangkak ke lokasi tempat mereka melukis cadas. Sebab sisa ruang gua selain oksigennya rendah, juga sudah terisi oleh asap obor.
"Kami berpendapat bahwa memasuki gua yang terdalam dan gelap ini adalah pilihan mereka yang disengaja, dimotivasi oleh pemahaman tentang sifat perubahan dari ruang bawah tanah yang minim oksigen," tulis mereka dalam kesimpulan.
Source | : | Jurnal Ilmiah |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR