Kemudian, ia memperkenalkan diri, namanya Agustinus Bario. Untuk mencapai Tanah Tinggi, perjalanan ditempuh kurang lebih selama satu jam dari Dermaga di Tanah Merah, Ibu kota Boven Digoel, menggunakan speedboat dengan mengarungi sungai terpanjang di selatan Papua, Sungai Digoel. Sungai itu mengalir dari Pegunungan Sterren dan bermuara di Laut Arafura. Menurut penuturan warga setempat, sungai ini masih dihuni buaya-buaya ganas yang kerap muncul di tepian sungai.
Awal 1927, Gubernur Jenderal De Graff mengeluarkan perintah untuk membangun tempat pembuangan dalam negeri (kamp interniran) di Boven Digoel untuk mengasingkan mereka yang dianggap membahayakan kedudukan pemerintah kolonial. Kamp konsentrasi terbagi menjadi dua lokasi, di Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Kamp konsentrasi di Tanah Tinggi, dikhususkan bagi orang-orang buangan yang nonkooperatif atau sulit bekerja sama dengan pemerintah kolonial.
Yudhan melanjutkan kisahnya kepada saya. Dari tepian sungai, ujarnya, Agustinus mengajak rombongan kecil itu menyusuri jalan setapak. Di kanan-kiri, pohon-pohon menjulang angkuh. Rombongan itu berhenti tak jauh dari sebuah rumah kayu yang amat sederhana.
Di depan rumah, terpancang tiang kayu dengan bendera Merah Putih di puncaknya. Dia tertegun. Di ujung timur Nusantara, Merah Putih berkibar anggun, mengukuhkan Indonesia sebagai pemilik wilayah ini. Tak banyak jejak-jejak fisik sejarah yang tertinggal di Tanah Tinggi.
Agustinus menunjukkan lokasi barak tentara Belanda pernah berdiri. Tetapi, barak itu telah lama roboh, dan hanya menyisakan pondasi bangunannya. Posisi barak tentara ini berada dataran paling tinggi, sehingga sangat strategis karena bisa mengontrol kamp penahanan yang berada di tepi sungai. Sayangnya, saat ini sebagian besar lokasi kamp tahanan tadi sudah longsor tergerus arus sungai.
Penulis | : | Lutfi Fauziah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR