Pengalaman dramatis itu dikisahkan kepada saya oleh Yudhantara Pinem, salah satu awak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Tanah Tinggi, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Saat itu ia tengah bertugas mengumpulkan data citra dan spasial untuk pemetaan data kebudayaan. Kemarahan yang tersirat jelas itu tentu membuat siapa saja yang mendengarnya terkesiap dan gentar, termasuk Yudhan.
Dia membeku di tempatnya berdiri, tak jauh dari bibir sungai. Ketegangan menyelimuti suasana saat itu karena ketiga lelaki bersenjata itu masih saja melemparkan pandangan marah. Seorang penduduk setempat yang turut mengantar Yudhantara, akhirnya maju dan mencoba berbicara pada ketiga lelaki itu. Entah apa yang dikatakannya, tetapi setelah beberapa saat, akhirnya ketegangan mulai mereda.
“Maaf kami seperti ini karena kami kecewa terhadap beribu-ribu janji yang tidak kunjung terpenuhi setiap ada kunjungan ke tanah ini,” ujar pria yang mengacung-acungkan kelewang tadi. Usai kemarahannya mereda, sikap lelaki garang itu melunak.
Penulis | : | Lutfi Fauziah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR