Nationalgeographic.co.id—“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Kutipan kata-kata Pramoedya Ananta Toer itu tampaknya benar-benar terbukti. Setidaknya pada sosok Raden Ajeng Kartini.
Karena gemar mengungkapkan pandangan serta pikirannya lewat tulisan, kini nama R.A. Kartini menjadi abadi. Sosoknya ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Hari lahirnya, 21 April, dirayakan sebagai salah satu hari peringatan nasional, yakni Hari Kartini.
Banyak pahlawan perempuan lainnya yang mengorbankan nyawa mereka, misalnya Laksamana Malahayati dari Sumatra dan Martha Tiahahu dari Maluku. Namun hari lahir mereka tidaklah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari peringatan nasional.
Bila ada di antara sahabat pembaca kerap membanding-bandingkan sosok Kartini dengan pahlawan-pahlawan perempuan lainnya dan meremehkan perannya, mungkin sahabat pembaca belum benar-benar mengenal sosok R.A. Kartini. Tak kenal maka tak sayang, begitu kata pepatah.
Baca Juga: Laksamana Malahayati, Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman
Kartini, hanya dengan nama itu ia mau dipanggil, sebenarnya hanyalah seorang perempuan Jawa biasa yang kebetulan dilahirkan di keluarga bangsawan. Gagasan yang ia milikilah yang menjadikan sejarah mengenangnya sebagai sosok luar biasa. Gagasan dan pemikirannya itu terekam dengan baik dalam surat-suratnya.
Sebagai seorang putri dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Kartini memang beruntung bisa mengenyam pendidikan, meski masih dalam keterbatasan. Pendidikan tersebut membuatnya mampu baca-tulis, bahkan dalam bahasa Belanda.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV dari Demak, juga dikenal sebagai bangsawan yang terbuka terhadap peradaban Barat. Sikap terbuka ini juga diwariskan ayah Kartini, yang menyebabkan Kartini muda dapat berinteraksi dengan beberapa orang Belanda.
National Geographic Indonesia sebelumnya penah mencatat, salah satu orang Belanda yang berpengaruh dalam hidup Kartini adalah Marie Ovink-Soer, istri dari seorang pegawai administrasi kolonial Hindia Belanda di Jawa Tengah. Ovink-Soer menjadi sahabat Kartini untuk mencurahkan hati akan banyak hal, terutama kondisi perempuan yang dikekang adat dan tradisi. Berkat Ovink-Soer, Kartini mengenal gerakan feminisme di Belanda sejak usia 20 tahun.
Ovink-Soer mengenalkan Kartini pada jurnal beraliran feminisme De Hollandshce Lelie. Di jurnal itulah perempuan kelahiran 21 April 1879 itu menulis keinginannya memiliki sahabat pena dari negeri Belanda.
Baca Juga: Martha Tiahahu, Perempuan yang Jadi Panglima Perang di Usia 17 Tahun
Keinginan Kartini bersambut. Pegawai pos bernama Estella Zeehandelar pun menanggapi dan mengirim surat kepada Kartini. Korespondensi Kartini dengan Stella membuat pikirannya makin terbuka. Tulisan Kartini dalam surat-suratnya pun menjadi rekaman pemikiran dan gagasan Kartini yang dianggap luar biasa.
Dalam surat-suratnya, Kartini dapat bercerita tentang kondisi perempuan seperti dirinya yang merasa terkekang, bahkan tanpa bisa memilih masa depannya sendiri. Kartini pun bercerita mengenai banyak hal, tentang bangsanya yang menderita karena penjajahan, keresahannya mengenai agama, hingga kepeduliannya akan pendidikan.
Sejumlah buku pun dibahas Kartini bersama Stella dalam surat-suratnya. Misalnya untuk bercerita mengenai kondisi mengenaskan Bumiputera yang dijajah, Kartini mengambil buku Max Havelaar yang ditulis Multatuli sebagai referensi.
Kartini tak cuma menulis surat-surat kepada Ovink-Soer dan Stella. Kartini juga menulis surat kepada sejumlah sahabat lain, salah satunya Rosa Abendanon, istri dari JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Kelak, JH Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikannya sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (1911). Buku itu diterjemahkan oleh sastrawan Armijn Pane pada 1939 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku terbitan Balai Pustaka inilah yang kemudian menjadikan nama Kartini besar dan dicatat oleh sejarah sampai sekarang.
Baca Juga: Hajjah Rangkayo Rasuna Said, 'Singa Betina' yang Hidup di Tiga Masa
Buah pikiran Kartini dianggap menginspirasi gerakan emansipasi perempuan di Indonesia. Tuntutan kesetaraan gender dan persamaan hak-hak perempuan dengan laki-laki, termasuk hak mengenyam pendidikan, kini menjadi lebih vokal disuarakan oleh banyak orang, salah satunya berkat permikiran Kartini.
Perempuan kelahiran Kabupaten Jepara, 21 Januari 1879, itu adalah sosok yang "walk the talk" atau selaras antara perkataan dan perbuatannya. Menginginkan hak-hak yang layak, terutama hak pendidikan, bagi permepuan Indonesia, Kartini mendirikan sekolah khusus perempuan untuk warga pribumi.
Kartini mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Kartini berhasil mendirikan sekolah ini, sebagaimana dilansir KOMPAS.com, berkat dukungnya suaminya, Raden Adipati Joyodiningrat yang merupakan Bupati Rembang.
Berkat kegigihan Kartini pula, kelak muncul juga Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini (Sekolah Kartini) di Semarang pada tahun 1912. Lalu disusul berdirinya sekolah-sekolah serupa di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.
Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis di Hindia Belanda. Van Deventer mengaku terkesan dengan tulisan-tulisan Kartini.
Sekolah-sekolah Kartini itu berdiri setelah Kartini wafat. Empat hari pasca melahirkan putra pertama sekaligus terakhirnya, Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904 di usia 25 tahun.
Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah. Walaupun Kartini sudah tiada, tulisan-tulisannya tetap berpengaruh hingga hari ini dan kerja menulisnya, seperti kata Pram, telah membuat namanya abadi.
Sesuai dengan ketetapan Presiden RI, Ir. Soekarno, melalui surat No.108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964, sosok R. A. Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Di surat yang sama, Soekarno juga menetapkan peringatan Hari Kartini sebagai hari besar nasional yang jatuh pada tanggal 21 April setiap tahunnya.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Source | : | National Geographic Indonesia,KOMPAS.com |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR