Nationalgeographic.co.id—Bagi Aerli Rasinah, tradisi topeng bukanlah sekedar budaya, melainkan tempat spiritualitasnya ditampung. Karena dirinya seorang dalang tradisi itu, khususnya di Indramayu, ada rangkaian 'ritual' yang harus diikuti.
Rangkaian itu diadakan dengan cara upacara, jelasnya dalam webinar yang tentang budaya Panji di Jawa Barat, Kamis (15/04/2021). Tujuannya, agar dirinya dan peserta lain yang hendak pentas meresap ke dalam karakter yang dikenakan.
Ia menyebutnya sebagai pewarisan dalam topeng. Rangkaiannya bermula dari berpuasa untuk membersihkan diri, hingga muncul energi positif lewat angeun-angeun. Setelah itu muncul rasa niat diri untuk mendalami karakter, dan mengadakan perjanjian pada diri Yang Maha Kuasa, diri sendiri dan masyarakat, agar ikhlas mementaskannya.
yang disebut sebagai pewarisan agar diri meresap dalam topeng yang dipentaskan. Aktivitas itu mulai dari puasa yang bertujuannya membersihkan diri, kemudian.
"Di Tari Panji," ujarnya. "Mencapai akhir tari topeng harus sesuai dengan doa leluhur, yakni awal dan akhir. Ini karena tradisi Panji ini sangat sakral."
"Selain itu, untuk mempelajari Tari Topeng Panji itu tidak mudah, karena diawali dengan [yang] kecil-kecil. Itu, di Panji ada Mageung Nafas. Banyak yang mementaskan tapi tidak ada isinya," Rasinah merujuk pada esensi kesenian Panji.
Baca Juga: Manfaatkan Teknologi, Roh Tari Topeng Mimi Rasinah Bangkit di Tengah Pandemi
"Tapi kalau mau ada isinya harus ada proses-proses tertentu, karena topeng Panji ini kayak orang urip (hidup) tapi mati, mati tapi urip. Ini gambaran besarnya seperti itu."
Sebelumnya, budaya Panji dikenal menyebar seantero Asia Tenggara berdasarkan kisahnya yang terpamang dalam relief, naskah kertas, dan seni tari maupun peran. Perkembangannya melintasi zaman hingga dikemas lewat anime (animasi bergaya Jepang), hingga film laga.
Namun, ada dimensi lain yang tradisi Panji berhasil masuk ke dalamnya: ranah spiritualitas dan nilai filosofis.
Endang Caturwati, pegiat seni Topeng Priangan dan Panji mengatakan di forum yang sama, tradisi Panji berkembang kembali di Jawa Barat di komunitas tertentu sejak 1920-an lewat tari Keurseus.
Keurseus sendiri merupakan gerakan priyayi menari dengan tertib lewat patokan, batasan, dan struktur tertentu.
"Baru sampai 1950, rame semua [di kalangan] para priyayi. Pelajar harus bisa tari Keuresus, malu rasanya kalau tidak bisa--malu dengan kelompok penari lain.
"Keurseus merupakan gerakan priyayi menari dengan tertib. Sabas Wiranatksumah yang mengatur tarian ini dengan berbagai batasan, patokan, dan strukutr untuk tari," jelasnya.
Dari Keurseus itulah, kemudian seniman bernama Tjetje Soemantri mencampurkannya dengan tari-tari lain dalam tarian topeng.
Baca Juga: Kelana Budaya Panji yang Melintasi Bentuk, Tempat, dan Waktu
Tarian itu tak mengenal gender laki-laki perempuan, tokoh laki-laki di sana hanyalah Klana yang ditampilkan berkumis. Sisanya, tak menggambarkan kelamin apa-apa, termasuk topeng Panji itu sendiri.
Dalam pentas itu pun memiliki tahapan, yakni Klana, Tumenggung, Rumiang, Pamindo, dan terakhir Panji. Mencapai topeng Panji, Endang menjelaskan, adalah klimaks dari pertunjukkan itu.
"Kalau manusia telah mencapai Panji yang mampu menahan diri, emosi, serta nafsu--yang digambarkan dengan gemuruhnya gemalan, ia akan tetap bergerak tenang. Maka telah mencapai manusia hidayah atau sempurna," ungkapnya.
Rupanya, penggunaan tradisi Panji sudah ada sejak proses Islamisasi di tatar Sunda. Hal itu diungkap oleh Achmad Opan Safari Hasyim, ahli Topeng Cirebon dan Ruwatan.
Ia menyebut beberapa manuskrip menceritakan penggunaan Panji untuk dakwah di masa Sunan Kalijaga, menurut Naskah Babad Cirebon. Pagelarannya diadakan di siang hari, dilanjutkan pentas wayang di malam hari di Bangsal Paringgitan.
"Bangsal ini masih berguna untuk pertnujukkan topeng dan wayang. Sampai sekarang pertnujukkan itu masih dilakukan, terutama sekitar November, ketika diadakan pesta laut," Hasyim menjelaskan.
Kemudian tradisi topeng disebarkan oleh murid-muridnya, seperti Ki Nurkalam dan Pangeran Angkwaijaya atau Pangeran Losari. Karena terbagi dua, tradisi Panji memiliki dua jenis yakni, Slangit dan Palimanan yang hanya berbeda pada urutan tingkatan menuju Panji.
Dalam salah satu naskah Suluk Pesisiran, memiliki cerita tentang Panji dalam riwayat penyebaran Islam di Cirebon. Suluk ini memiliki empat jenis yang memiliki nilai filosofis keagamaan.
Suluk pertama berisi pengajaran syariat dan bersifat terpisah antara dalang dan wayangnya, mirip seperti penuturan isi.
Ada pula suluk kedua yang dikenal sebagai Barokan, yang mengajarkan thoriqot agama yang membuat wayang dan dalang menyatu dalam berdakwah.
Baca Juga: Kesenian Ketoprak: Dari Surakarta ke Yogyakarta untuk Semua Warga
Suluk ketiga menjelaskan hakikat yang menghubungkan diri manusia dengan Tuhan. Memiliki pemaknaan bahwa manusia tak memiliki hijab (penutup/sekat) untuk menghadap Tuhan, selain topeng.
Dan yang terakhir, Suluk Ronggeng, yang menjelaskan ma'rifat Islam. Hasyim menjelaskan, "Artinya, di situ ada kebebasan menari dalam Ronggeng, kebebasan menari kemudian juga meminum minuman nikmat dari serbat atau sari-sari buah-buahan, jahe, dan menghangatkan."
"Ronggng tidak sejelek apa yang dipengaruhi Belanda—menganggap Ronggeng sebagai roh yang melanggeng," tambahnya. "Ketika zaman Belanda sering salah kaprah soal minuman yang dijadikan minuman keras, padahal ini pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala."
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR