Semua itu ada sebabnya: Beberapa tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia diasingkan pemerintah kolonial Belanda di pulau ini!
Salah seorang proklamator kita, Bung Hatta, pernah diasingkan di sini. Juga dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Sutan Sjahrir dan Iwa Kusuma Sumantri. Rumah tempat mereka diasingkan sekarang menjadi bangunan bersejarah yang dilindungi. Tentu saja keberadaan mereka membawa semangat nasionalisme di kepulauan ini.
Kampung Nusantara menjadi favorit saya pada pagi hari. Bukan apa-apa, selain letaknya di tepi pantai di mana terdapat pelabuhan, juga berdampingan dengan pusat keramaian lain: Pasar! Segala macam hasil bumi kepulauan ini tersedia di sini, dari aneka macam rempah seperti pala, kayu manis, biji kenari sampai sayuran dan ikan-ikan segar.
Pasar ini merupakan tempat teramai di Banda Neira dibandingkan kampung lain yang relatif tenang dan sepi. Biasanya, saya nongkrong dan bergaul dengan warga lokal sambil minum kopi di warung yang terletak di salah satu sudut pasar.
Baca Juga: Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk
Sambil menyeruput kopi, berbagai cerita pun mengalir dari mulut warga pecandu kopi. Sampai saya mendengar salah seorang warga berkata, “Kapal putih masuk hari Jumat.” Berkali-kali kata-kata 'kapal putih' disebutkan. Saya tak mengerti maksud kata-kata itu, ingin hati bertanya tapi sungkan.
Sepulang dari warung kopi, anak pemilik rumah yang saya tempati, Bambang, menjelaskan arti kata-kata 'kapal putih.' Ternyata itu istilah warga setempat untuk menyebut kapal besar yang dioperasikan Pelni!
Disebut 'kapal putih' karena warnanya yang putih. Selama puluhan tahun melayani pelayaran dari dan ke Banda, sehingga panggilan akrab pun disematkan warga. Ada tiga kapal Pelni yang melayani jalur ke Banda, yaitu KM Ngapulu, KM Panggrango dan KM Leuseur. Semuanya disebut warga sebagai 'kapal putih.'
Sebutan ini untuk membedakan antara kapal milik Pelni dan kapal cepat yang dikelola perusahaan swasta. Saya bisa mengerti kenapa julukan itu disematkan, karena memang terlihat putih mencolok di tengah laut walau dari kejauhan. Apalagi karena ukurannya juga besar dibandingkan kapal-kapal cepat milik swasta.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR