“Kalau mau lihat kapal putih datang, lihatnya dari atas gunung api,” begitu cerita Bambang yang bernama asli Syaiful. Konon, dia dipanggil demikian, karena saat ia kecil seorang tetangga memanggilnya dengan nama Bambang, lalu keterusan sampai sekarang. Mirip betul seperti sebutan kapal putih tersebut!
Ceritanya saya timbang-timbang. Sampai mendengar kabar kalau esok pagi, kapal KM Ngapulu akan tiba dari Tual. Kebetulan sekali pada hari itu tidak ada jadwal mengajar. Maka saya ajak Ongen untuk mendaki Gunung Api Banda.
Pagi-pagi buta, kami sudah keluar rumah menuju Pelabuhan Lamani untuk mencari perahu yang mengantar kami menyeberang ke pulau tempat gunung api berada. Jaraknya dekat saja, kurang lebih 500 meter. Dengan perahu motor hanya ditempuh kurang lebih 10 menit!
Kami menemukan tukang perahu yang mau mengantar kami ke seberang. Ongkosnya cuma Rp5.000 per orang. Kami juga minta saat pulang nanti agar dijemput. Ia setuju dan memberikan nomor telepon untuk dihubungi bila kami sudah turun gunung.
Gunung Api Banda masih aktif, mempunyai ketinggian 640 meter di atas permukaan laut. Selama empat abad, tercatat telah meletus sebanyak 24 kali, yang terakhir pada 19 Mei 1988. Akibatnya kampung-kampung yang berada di kaki gunung musnah. Memakan jiwa tiga warga.
Sampai sekarang kampung-kampung itu tidak dibangun kembali dengan alasan keamanan. Warga kampung mengungsi ke pulau-pulau lain di Banda bahkan sampai ke kabupaten lain. Lahar mengalir ke arah utara gunung dan masuk ke laut, mematikan semua terumbu karang di sekitarnya.
Namun sekarang, tempat aliran lahar di laut itu menjadi salah satu tempat favorit para penyelam yang berkunjung ke Banda. Karena terumbu karangnya menjadi sangat sehat dan indah. Titik menyelam itu kini dinamakan Lava Flow, atau aliran lahar!
Kami mulai mendaki pukul 5:40 waktu setempat. Kapal putih biasanya memasuki perairan Banda Neira pukul 8:00. Artinya, kami punya waktu dua jam lebih untuk sampai ke puncak dan melihat kapal putih datang.
“Langsung nanjak memang,” kata Ongen saat memulai pendakian.
Gunung Api Banda adalah gunung soliter alias berdiri sendiri di tengah laut. Dari titik 0 meter di atas permukaan laut langsung mendaki tanpa basa-basi. Ini menguras tenaga. Belum lagi jalur mendakinya didominasi oleh pasir dan kerikil. Langkah kami bagai tersedot, bila tidak berhati-hati melangkah, bisa-bisa tergelincir.
Baca Juga: Ludovico di Varthema, Sang Penentu Arah Pemburu Rempah
Pukul tujuh pagi, kami sudah mendekati ketingian 500-an meter. Tinggal 100 meteran lagi kami sampai ke puncak. Sudah memasuki daerah terbuka dengan vegetatif rendah, tak ada lagi pohon yang menghalangi untuk melihat sekeliling kawasan.
Dari ketinggian ini, kami bisa melihat Pulau Banda Neira dan perairan sekitarnya. Termasuk Pulau Banda Besar dan Pulau Sjahrir. Yang terakhir disebut itu dilatarbelakangi kisah Sjahrir saat kabur ke pulau itu dari pengasingan dan dicari-cari kolonial Belanda.
Terlihat di kejauhan, sebuah kapal putih bergerak dari arah Tual di timur, itulah kapal KM Ngapulu! Apa yang dibilang Bambang benar. Menyaksikan kapal putih datang memang lebih asyik dari atas gunung api!
Kapal bergerak perlahan mendekati selat di antara Pulau Gunung Api dan Banda Neira. Sekali-kali terdengar suara klaksonnya. Ukuran kapal sungguh besar. Terlihat gagah memasuki pelabuhan. Kapal ini bisa mengangkut lebih dari 2.000 penumpang.
Bukan hanya kapal putih yang mengasyikan dilihat dari atas gunung, tapi juga Pulau Banda Neira dan lingkungan sekitarnya. Terlihat landasan pacu bandara membelah di tengahnya, dengan orientasi timur barat. Bandara ini unik, karena melintang di tengah pulau. Kedua ujung landasan pacu langsung berbatasan dengan laut. Kalau pilot terlambat mengerem atau take off dijamin masuk ke Laut Banda yang dalam!
Kami juga bisa menyaksikan benteng-benteng di pulau tersebut. Benteng Belgica yang dibangun Portugis dan Benteng Nassau yang dibangun Belanda. Banda memang jadi wilayah penting yang diperebutan kolonial Barat. Buah pala adalah andalannya sampai sekarang. Tak heran salah satu pulau di sana, Rhun, ditukar guling dengan Manhattan oleh Inggris kepada Belanda.
Oh ya, waktu akan berangkat saya disarankan membawa telur mentah ke puncak gunung. Disarankan begitu tanpa penjelasan apa-apa Karena tak mengerti maksudnya tak saya turuti. Sampai di puncak gunung, saya baru mengerti maksud membawa telur mentah itu: untuk dimasak!
Baca Juga: Jalur Rempah, Rute Dagang yang Menyimpan Solusi Masalah Masa Kini
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR