Ketika Luskin memulai penelitiannya, hanya ada sedikit penelitian di bidang pemaafan dan pengetahuan yang terbatas tentang cara-cara yang dapat membantu mereka yang paling menderita. Dengan tidak adanya panduan yang jelas, Luskin memulai pekerjaannya dengan beberapa asumsi-asumsi yang belum teruji ini:
1. Proses pemaafan tetap sama, terlepas dari pelanggarannya.
2. Pemaafan lebih tentang masa lalu kita daripada kehidupan kita saat ini.
3. Pemaafan harus tentang semua keluhan - besar dan kecil.
4. Pemaafan adalah sebuah proses. Dan meskipun durasi dan kesulitannya akan sangat bervariasi, hal itu dapat diterapkan secara merata pada semua tingkat rasa sakit --apakah itu akibat dari seseorang yang bersikap kasar kepada kita di toko, orang tua yang lalai, anak yang abai, atau pasangan yang selingkuh.
Baca Juga: Meski Tampak Sederhana, Mengapa Kata 'Maaf' Sulit untuk Disampaikan?
Dalam salah satu studinya, Luskin merekrut para responden berusia antara 18 dan 30 tahun yang ingin menghadiri pelatihan pemaafan untuk menyelesaikan masalah pribadi mereka. Luskin kemudian mewawancarai mereka sebelum dan sesudah pelatihan.
Hasil dalam studi ini menegaskan bahwa pelatihan memaafkan membantu orang:
1. Merasa lebih sedikit sakit hati
2. Mempelajari teknik untuk memaafkan kekesalan yang spesifik dan lebih umum
3. Memaafkan orang-orang tertentu yang telah menyebabkan mereka kesakitan
4. Secara keseluruhan, temuan studi menunjukkan bahwa belajar memaafkan meningkatkan kesehatan psikologis dan fisiologis dan menawarkan perlindungan terhadap gangguan di masa depan. Pelatihan memaafkan juga menuntun individu menjadi lebih kuat secara emosional, mengalami kepercayaan diri yang lebih besar, dan menjadi semakin optimistis (Luskin, 2003).
Source | : | positivepsychology.com |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR