Nationalgeographic.co.id - Setiap hari besar seperti lebaran Idul Fitri, Natal, dan Imlek, yang biasanya diadakan setahun sekali dan jadi ajang silaturahmi dengan keluarga besar atau mudik. Perayaannya juga diadakan dengan meriah karena memiliki kesakralannya.
Namun, tak semuanya merasa nyaman dengan kegiatan tahunan untuk kumpul keluarga itu. Alasannya, kerap kali dalam momen itu pihak keluarga melontarkan pertanyaan yang mengganggu atau menyudutkan mereka atas pencapaian hidup.
Pertanyaan itu seperti "kapan kamu lulus?", "kerja dimana sekarang?", "berapa gaji kamu?" , hingga "sudah setua ini, kenapa kamu belum menikah?".
Bagaimana menyikapinya?
Baca Juga: Lebaran Dua Kali, Umat Islam Bisa Dapat THR Dua Kali pada Tahun 2033
Menurut Ariel Obadyah dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, pertanyaan-pertanyaan ini maklum dilontarkan dalam momen kumpul keluarga, terutama di hari-hari raya.
Hal itu dikarenakan tak semua anggota keluarga besar mengetahui dan melihat perjuangan hidup anggotanya yang lain di luar pertemuan tahunan itu.
"[Pertanyaan-pertanyaan] Ini sebuah metode untuk ngobrol, ini untuk berkomunikasi satu sama lain adalah dengan bertanya," terangnya saat dihubungi National Geographic Indonesia, Senin (10/05/2021).
"Itu bentuk umum yang mudah dilakukan untuk berkomunikasi. Apa lagi yang setahun sekali."
Ia menambahkan, jika dilihat dari sudut pandang masyarakat Timur yang kolektif dan diadopsi masyarakat Indonesia, batas privasi suatu individu dianggap kurang. Berbeda dengan gaya komunikasi budaya Barat yang individualis, memahami hak individu dan menjaga batasan.
Baca Juga: Makan Malam Imlek: Budaya Kumpul Keluarga dan Meja Bundar
Meski budaya kolektif memandang urusan pribadi harus diketahui secara bersama, pertanyaan-pertanyaan ini memiliki motif yang buram. Bisa saja bukan untuk sekedar basa-basi biasa, melainkan untuk mengetahui pencapaian seseorang atau untuk membandingkan seseorang dengan dirinya.
"Nah, dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu, dia (penanya) itu bisa mengukur apa dirinya payah, apa kita (yang ditanya) tertinggal, apa dia lebih unggul. Jadi ini alat untuk menilai dirinya," lanjut Ariel.
Selain untuk dengan diri penanya, pertanyaan juga bisa digunakan untuk membandingkan seseorang dengan pihak lain. Pihak lain ini bisa saja merupakan bagian anggota keluarga atau bukan.
Orang seperti ini menganggap membanding-bandingkan adalah hal yang wajar, ungkap Ariel. Lewat pertanyaan yang dilontarkannya, cenderung seseorang sudah memiliki pendapat yang dianggapnya ideal
Baca Juga: Mengapa Kita Mudah Memaafkan Saat Lebaran tapi Tidak di Waktu Lain?
Misal, Anda adalah pengangguran dan memiliki sepupu yang sudah memiliki usaha, sedangkan. Kemudian Anda ditanya oleh paman Anda yang bukan ayah dari sepupu itu. Sepupu Anda otomastis menjadi standar paman Anda. Standar ini kemudian menjadi kebanggaannya.
Sama ibaratnya jika Anda menganggap tim sepak bola yang ideal adalah yang berhasil menjuara Liga Champion. Bila sering menyasikan pertandingan itu, Anda kemudian menganggap tim yang juara adalah yang ideal, sedangkan tim lain tidak.
"Kita enggak bisa pisahkan orang dari opininya. Itu yang jadi pandangani dia. Itu kenyataannya kalau mereka punya standar opini--meski tidak menghidupinya, dan merasa mereka benar," papar Ariel.
Untuk menghadapi momen bertemu keluarga besar, banyak yang kerap merencanakan jawaban apa yang harus diberikan. Bahkan mungkin Anda bisa saja menciptakan suatu skenario untuk berbohong.
Bagi Ariel, berbohong bisa saja memanipulasi penanya. Tetapi akan berbahaya apabila penanya akan mengecek kebenarannya, seperti bertanya lebih lanjut dengan anggota keluarga yang paling dekat. Efeknya bisa mengakibatkan konflik jangka panjang dalam keluarga.
Baca Juga: Seperti Apa Cahaya Natal dan Ramadan Bila Dilihat dari Luar Angkasa?
Maka saran terbaik untuk menghadapinya adalah jujur. Kadar kejujuran ini bisa diberikan tergantung kasus seperti alasan apa yang harus diberikan.
Misal, apabila Anda ditanya "Sudah umur segini, kenapa belum nikah juga?".
Maka, berilah alasan yang jujur terkait kondisi Anda seperti masih fokus dengan aktivitas sendiri, belum memiliki calon pasangan, atau kondisi belum siap nikah lainnya yang sedang dihadapi. Setelah itu kendalikan percakapan untuk membahas betapa asiknya kesibukan yang membuat Anda belum menikah juga.
"Kalau ada yang basa-basi, dia mau cepat pergi kok, apalagi kalau dia (yang suka membandingkan) mau melihat kemenangannya," jelas Ariel. "Anda tahu kok dia mau menjatuhkan atau bukan. Kalau mau singkat, hindari berbicara dengannya."
Kita bisa melihat karakteristik anggota keluarga dengan melihat polanya, atau berdasarkan anggota keluarga terdekat lainnya. Sebaiknya untuk menghindari dan meverifikasi karakternya karena belum kenal, "cukup wait and see."
Tak hanya untuk kalangan mereka yang sering ditanyakan, anggota keluarga lain yang kerap memberikan pertanyaan harus menyadari betapa rawannya suatu ucapan.
Jika hendak berkomunikasi dengan ponakan atau anggota keluarga lainnya, ketahui terlebih dahulu apa tujuan Anda ingin bertanya. Agar menghindari perkataan yang menyinggung, sebaiknya Anda lebih sering mendengarkan.
"Memang bertanya itu perlu (di kumpul keluarga). Tapi saya enggak akan menanya sesuaty yang membuatnya defensif seperti "Kenapa kamu enggak lulus-lulus juga?", saya cenderung "kamu ngapain saja selama ini, ada peristiwa apa?". Kemudian saya pilih dengar ceritanya," jelas Ariel memberikan contoh kasus.
Baca Juga: Kumpul keluarga
Jangan menginterupsi ceritanya, biarkan anggota keluarga itu menjawab. Mungkin mereka sudah memiliki solusi, sehingga Anda tak perlu menceramahinya.
"Pelajaran pertama dalam komunikasi adalah jadi pendengar baik, kita harus cek dulu, jangan langsung menyerang masuk dengan asumsi kita. Apalagi kalau kita dengarnya dari pihak yang lain."
Jika dia memiliki solusi atas masalah yang dihadapinya, berilah dorongan yang membuatnya semangat menjalani hidup.
Tetapi jika anggota keluarga bertanya untuk sebuah solusi, Anda bisa memberikan jawaban yang bisa membantunya. Apabila masalahnya di luar kemampuan, Anda bisa menyarankannya untuk meminta bantuan ke anggota keluarga lain atau pihak lain.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR